bakabar.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan kesiapan industri dalam negeri akan permintaan produk sawit yang berkelanjutan. Hal itu menjadi sebuah nilai tambah agar mampu bersaing di pasar global.
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Agam Fatchurrochman menegaskan hal itu di acara Multistakeholder Workshop “Menjaga Akses Pasar Utama Sawit Asia Tenggara" belum lama ini.
Agam yakin produk CPO Indonesia mampu bersaing di pasar yang semakin hijau, apalagi Indonesia merupakan produsen terbesar Certified Sustainable Palm Oil (CSPO).
“Jika Tiongkok meminta sertifikat berkelanjutan, kita semua ada, baik yang bersifat mandatory ISPO yang sudah mencapai hampir 5 juta Ha, maupun bersifat voluntary RSPO sebanyak 2,4 juta Ha,” ungkapnya.
Agam juga menekankan, pelaku industri telah berupaya untuk menguatkan sistem sertifikasi ISPO nasional. Hal itu diwujudkan dengan memperbaiki prinsip dan kriteria ISPO hulu di sisi perkebunan yang sudah dilakukan sebanyak 3 kali.
Agar berlangsung optimal, dia menilai pemerintah harus menyelesaikan standar untuk ISPO hilir, yaitu di sisi pembeli (buyer) dan penyuling (refinery) untuk memenuhi permintaan pasar.
"Upaya itu dilakukan dalam rangka membangun reputasi minyak sawit Indonesia di pasar global untuk mengantisipasi dinamika akses pasar yang lahir dari transisi menuju praktik yang berkelanjutan," katanya.
Dalam empat tahun terakhir sinyal hijau Tiongkok termasuk di sektor sawit sudah bermunculan. Hal itu terlihat dari beberapa inisiatif, seperti pembentukan Aliansi Minyak Sawit Berkelanjutan Tiongkok (CSPOA) pada 2018 hingga pengembangan Panduan Konsumsi Minyak Sawit Berkelanjutan pada 2022 oleh CSPOA, dimana China Chamber of Commerce of Foodstuffs and Native Produce (CFNA) dan World Wildlife Fund (WWF) tergabung di dalamnya.
"Bahkan dari segi konsumen, survei Status Konsumsi Hijau Masyarakat Umum di Tiongkok 2019 menyebutkan 83,34% responden menyatakan dukungan untuk perilaku konsumsi hijau," ujar Agam.
Senada dengan itu, Senior Policy Coordinator Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Desriko Malayu Putra berpendapat bahwa tata kelola yang baik menjadi faktor penentu dalam membangun reputasi sawit Indonesia.
“Tata kelola sawit yang diperlukan saat ini adalah melalui kolaborasi baik di tingkat regional dan global untuk pemenuhan aspek-aspek keberlanjutan yang terkandung dalam skema sertifikasi ISPO dan RSPO,” ujar Desriko di Jakarta (18/01).
Aspek keberlanjutan tidak hanya dipenuhi pada level perusahaan atau badan usaha, melainkan sampai ditingkat petani dengan pendampingan khusus yang melibatkan pemerintah daerah, perusahaan dan lembaga pendamping.
"Semangat yang sama juga ditunjukkan LTKL, di mana semua pemangku kepentingan diajak untuk saling memberikan dukungan dalam pencapaian target keberlanjutan dalam satu yurisdiksi kabupaten," ujarnya.
Sementara itu, Supply Chain and Livelihood Transformation Senior Manager WRI Indonesia Bukti Bagja menyampaikan forum multipihak diperlukan untuk menyinergikan upaya bersama para pemangku kepentingan industri sawit.
"Ini diperlukan untuk menyiapkan sawit Indonesia ketika pasar-pasar besar sudah mulai mendorong praktik berkelanjutan di sektor sawit," ungkapnya.
Lebih jauh Bukti menekankan tentang pentingnya menjaga hubungan perdagangan komoditas sawit Indonesia dengan pasar ekspornya, sehingga dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, rentang waktu yang lebih longgar di pasar Asia merupakan peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki tata kelola sawit di dalam negeri sembari merumuskan strategi diplomasi sertifikasi sawit nasional di pasar Asia.
"Termasuk Tiongkok secara lebih proaktif," pungkasnya.