bakabar.com, JAKARTA - Analis Bank Woori Saudara (BWS) Rully Nova menjelaskan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipengaruhi kenaikan indeks dolar AS dan yield obligasi pemerintah AS.
"(Kenaikan itu) disebabkan oleh wait and see data manufaktur AS dan data tenaga kerja non pertanian AS yang akan rilis Jumat ini," ujar Rully di Jakarta, Rabu (2/8).
Selain itu, pergerakan rupiah diprediksi masih akan tertekan karena ekonomi AS semakin menguat dan data manufaktur China yang memburuk.
"(Data) Purchasing Managers Index (PMI) China (versi Caixin) menunjukkan kontraksi 49,2 pada Juli 2023 (dari 50,5 pada Juni 2023),” ungkap Rully.
Baca Juga: Tekanan Inflasi Cukup Tinggi, KSSK: Nilai Tukar Rupiah Tetap Aman
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (2/8) pagi melemah 0,23 persen atau 35 poin menjadi Rp15.150 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.115 per dolar AS.
Dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), menyusul data yang menggembirakan terkait manufaktur dan konstruksi AS pada Juni, yang mengimbangi penurunan lowongan pekerjaan ke level terendah dalam lebih dari dua tahun.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama saingannya, naik 0,45 persen menjadi 102,3056 pada akhir perdagangan.
Baca Juga: Jelang Keputusan The Fed, Rupiah Tertekan karena Sikap 'Wait and See'
Departemen Perdagangan AS melaporkan pada Selasa (1/8/2023) bahwa pengeluaran konstruksi naik 0,5 persen pada Juni dari bulan sebelumnya. Data untuk Mei juga direvisi lebih tinggi untuk menunjukkan belanja konstruksi melonjak 1,1 persen, bukan 0,9 persen.
Pada Juni, belanja konstruksi menunjukkan pertumbuhan tahun ke tahun sebesar 3,5 persen. Proyek konstruksi swasta mengalami peningkatan pengeluaran sebesar 0,5 persen, dengan investasi dalam konstruksi perumahan naik 0,9 persen.
Institute for Supply Management (ISM) melaporkan pada Selasa (1/8) bahwa indeks manajer pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) manufaktur naik tipis menjadi 46,4 bulan lalu dari 46,0 pada Juni, yang merupakan pembacaan terendah sejak Mei 2020.
Baca Juga: Nilai Tukar Rupiah, BI: Lebih Kuat Dibanding Negara Lain
Imbal hasil obligasi pemerintah AS naik setelah dua laporan tersebut, dengan imbal hasil surat utang AS 10-tahun melampaui 4,0 persen dan mendekati puncak yang diamati bulan lalu, mendorong greenback lebih tinggi.
Sementara itu, jumlah lowongan pekerjaan untuk Juni mencapai 9,58 juta, menurut angka yang dirilis oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS pada Selasa (1/8/2023), yang sedikit di bawah ekspektasi pasar sebesar 9,62 juta.
"Berbagai data ekonomi menunjukkan ekonomi AS melaju pada kuartal kedua. Laju pelambatan saat ini mungkin terlalu bertahap bagi banyak pembuat kebijakan di Federal Reserve, karena lowongan pekerjaan hanya menurun secara bertahap, tetapi para pekerja harus merayakan banyak hal dan masih memiliki daya ungkit yang substansial," kata Nick Bunker, kepala riset ekonomi di Indeed Hiring Lab.