bakabar.com, BANJARMASIN - Rencana pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO) oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin terus menarik perhatian.
Terbaru, Pengamat Tata Ruang Kota di Banjarmasin, Nanda Febryan Pratamajaya, turut mengomentari rencana tersebut.
Nanda berpesan agar Pemkot Banjarmasin tidak gegabah melakukan pembangunan JPO.
"Mesti ada kajian mendalam dan lebih mendetail," ujar Ketua Ketua Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia Kalimantan Selatan (Intakindo Kalsel) saat ditemui di kantornya Selasa (20/6) siang.
Sebab, kata Nanda, untuk menilai perlu atau tidaknya JPO tak bisa hanya dilihat dengan skop yang kecil.
"Harus ada survei atau kajian luas, dari aspek lalu lintas, sosialnya bagaimana dan situasi lingkungannya seperti apa," ujarnya.
Tak lupa kajian terhadap target sasaran atau siapa saja yang yang akan menggunakan JPO. Meski begitu, Nanda menyadari potensi kecelakaan yang mengancam mencederai penyeberang jalan di sejumlah ruas jalan di Banjarmasin relatif tinggi.
Maka dari itu, lanjut dia, pemerintah perlu mengambil upaya perlindungan. Namun, dia mengingatkan hal itu mesti melalui kajian mendalam agar jenis penyeberangan yang dibuat dapat berfungsi efektif.
Sebagai langkah awal, menurut Nanda, pemkot bisa memulainya dengan melakukan kajian berdasarkan jenis sarana penyeberangan yang cocok.
"Caranya, bisa dengan menghitung banyaknya volume pejalan kaki yang melakukan penyeberangan dengan volume kendaraan yang melintas," jelasnya.
Baca Juga: Bejatnya Guru Cabul di Banjarmasin, Akali Murid Bikin Video Asusila
"Saran saya, bisa dicoba pelican crossing dulu, tapi ditambah dengan dua petugas yang berjaga untuk membantu warga menyeberang," sambungnya.
Jika pelican crossing efektif, dia melihat penghematan anggaran bisa dilakukan dan pemkot tak perlu mengeluarkan banyak biaya.
"Bayangkan kalau JPO yang dibangun lebih dulu tanpa mencoba opsi lain. Gimana kalau ujung-ujungnya tidak efektif? Pemkot tentu akan rugi," tuturnya.
Lebih jauh, tambah dia, jika ke depannya pelican crossing tidak efektif, hingga akan tetap membangun JPO, pemkot tetap harus mempertimbangkan beberapa hal. Di antaranya, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam UU tersebut ada pasal tentang penggunaan fasilitas JPO. Di sana disebutkan bagi yang melanggar peraturan tersebut dapat dikenakan sanksi.
"Masyarakat yang menyeberang sembarangan atau dalam radius tertentu, namun tidak menyeberang melalui JPO Itu akan dikenakan sanksi," ujarnya.
Pertimbangan selanjutnya terkait penentuan titik pembangunan JPO. Dia bilang posisinya harus berada di lokasi strategis.
"Lokasi yang tidak strategis membuat para penyeberang jalan malas untuk menggunakan JPO," tekannya.
Baca Juga: Kunjungi Jemaah Haji Asal Banjarbaru di Mekkah, Aditya: Alhamdulillah, Semuanya Sehat
Hal itu bisa disebabkan karena lokasi yang dituju akan lebih jauh jika di tempuh dengan menggunakan JPO.
Hasilnya, pejalan kaki pun enggan untuk menggunakan JPO, dan kemudian lebih memilih menyeberang dengan cara menerobos jalan.
"Ada baiknya dalam pembuatan JPO bisa lebih mengedepankan kebiasaan para penyeberang dalam melintasi jalan, sehingga keberadaannya tidak mubazir," tekannya.
Selanjutnya, harus ada petugas yang berjaga mengamankan JPO. Tujuannya agar terhindar dari tindak kriminal. Karena tak jarang JPO yang dibangun berada di kawasan yang rawan kriminalitas.
"Kemudian harus ada tim maintenance JPO yang rutin melakukan pemeliharaan," pesannya.
Karena, dia kerap menemukan JPO yang bangunannya sangat memperihatinkan. Minimnya penerangan menjadi salah satu masalahnya.
"Lalu, tidak terawat. Ada beberapa bagian JPO yang rusak, sehingga membuat kekhawatiran bagi para pejalan kaki yang ingin atau melintas," tekannya.
Tak lupa pula Nanda menekankan agar JPO bisa terbebas dari kegiatan non penyeberangan. Di antaranya seperti pengemis, pedagang asongan, pengamen dan lain sebagainya.
"JPO yang kerap dialihfungsikan oleh segelintir orang, membuat wajah JPO terlihat kumuh," tegasnya.
Berbicara perihal konstruksi, JPO pun harus humanis (aman dan nyaman). Seperti di antaranya memperhatikan ketinggian tiap anak tangga.
"Konstruksi jembatan yang memiliki banyak anak tangga, mengakibatkan para pejalan kaki malas untuk menaikinya," ungkapnya.
Baca Juga: Motif Pembunuhan Pensiunan PNS di Palangka Raya Terungkap!
Ketinggian JPO pun harus diperhitungkan. Jangan sampai, kata dia, JPO justru menghambat atau bisa menghalangi pandangan arus lalu lintas transportasi di bawahnya.
Selain itu, ia mengharapkan agar tak ada papan iklan yang biasa menempel pada JPO. Hal itu dinilai hanya menutupi pandangan para pejalan kaki yang melintasi JPO.
Keberadaan papan iklan di badan JPO juga disinyalir bisa memudahkan para pelaku kriminal untuk lebih leluasa untuk melakukan aksinya.
Tak ayal hal itu bisa berimbas pada enggannya para pejalan kaki menggunakan JPO. Terlebih pada saat malam hari.
"Maka pemasangan CCTV sangat dianjurkan sebagai alat pantau operasional dan pemeliharaan JPO," sarannya.
Terakhir, pembangunan JPO saat ini bukan hanya sebagai akses penyeberangan bagi para pejalan kaki. Baiknya, sebut dia, JPO mesti terintegrasi dengan sarana moda transportasi atau Transit Oriented Development (TOD).
TOD diartikan sebagai konsep pengembangan ataupun pembangunan kota, dengan memaksimalkan penggunaan lahan yang bercampur dan terintegrasi penggunaan angkutan umum massal. Lalu, gaya hidup sehat, seperti berjalan kaki dan bersepeda. "Sehingga fungsinya lebih optimal," tandasnya.