bakabar.com, JAKARTA – Tim pengacara terdakwa kasus korupsi PT ASABRI (Persero), Heru Hidayat melayangkan protes atas tuntutan hukuman mati yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya dalam sidang yang digelar Senin (6/12).
Tuntutan itu dianggap menyalahi aturan lantaran Jaksa tak mencantumkan pasal yang memungkinkan pemberian hukuman tersebut dalam dakwaannya.
“Dalam dakwaannya, JPU mendakwa Heru Hidayat dengan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, serta Pasal 3 dan 4 UU TPU. Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan,” kata pengacara Heru Hidayat, Kresna Hutauruk kepada wartawan, Selasa (7/12).
Dalam hal ini, Kresna merujuk pada penyematan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang memungkinkan pemberian hukuman mati bagi terdakwa suatu perkara. Ia mengatakan bahwa pasal tersebut sebenarnya tak pernah tercantum dalam dakwaan.
Selain itu, kata dia, Pasal tersebut tak dapat diterapkan di kasus Asabri lantaran terdapat frasa keadaan tertentu sebagai syarat penerapan hukuman mati. Dimana, keadaan tertentu itu merupakan saat negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter dan pengulangan tindak pidana.
“Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power. Dari awal surat dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan Pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat,” tambahnya, dikutip dari CNNIndonesia.
Kresna beranggapan kliennya juga tak bisa disebut mengulangi perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan oleh JPU. Ia merujuk pada pengertian pengulangan tindak pidana di KUHP.
Dimana, kata dia, frasa tersebut dapat disematkan kepada terdakwa apabila ia pernah dihukum terlebih dahulu dan kemudian melakukan tindak pidana.
“Dalam perkara ini, jelas tempus perkara Asabri yang didakwakan JPU adalah 2012-2019 sebelum Heru Hidayat dihukum kasus AJS (Asuransi Jiwaasraya). Sehingga jelas ini bukan pengulangan tindak pidana,” jelas Kresna.
Selain itu, selama persidangan pun tidak ada bukti yang menyatakan bahwa kliennya menerima aliran uang Rp12 triliun dalam perkara tersebut sebagaimana dituduhkan oleh JPU.
Ia pun menolak apabila kliennya disebutkan memberi sesuatu kepada pejabat Asabri sehingga melanggar hukum. Kerugian negara dalam perkara tersebut, dianggap Kresna belum terbukti.
“Kita di pengadilan ini kan untuk menegakkan hukum dan mencari Keadilan, bukan untuk mencari nama atau membuat sensasi. Tentunya Tuntutan yang di luar dakwaan ini sudah
mencederai rasa keadilan dalam perkara ini, khususnya untuk Heru Hidayat,” kata dia.
Kresna meminta agar Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tindak pidana korupsi tersebut tak memutus perkara dengan merujuk fakta yang ada di luar dari dakwaan.
“Tentunya nanti dalam pembelaan kami, semua kejanggalan dan keanehan dalam perkara ini
akan kami ungkap,” tandasnya.
Sebagai informasi, salah satu pertimbangan yang dinilai jaksa memberatkan tuntutan tersebut ialah Heru juga merupakan terpidana dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Jiwasraya (Persero) yang merugikan keuangan negara hingga Rp16,8 triliun. Dimana, dalam kasus itu atribusi keuntungan Heru mencapai Rp10,7 triliun.
Sementara, Heru juga disebut menerima atribusi keuntungan sebesar Rp12,6 triliun dari total Rp22,7 triliun kerugian keuangan negara di kasus Asabri. Selain itu, Kejaksaan juga mengatakan bahwa Heru Hidayat tak memiliki empat lantaran tak beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela.
Selama proses penyidikan hingga persidangan, kata dia, terdakwa juga tak menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa salah dalam kasus tersebut.