bakabar.com, JAKARTA - Penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU), dengan mensyaratkan kepesertaan BPJS, dikhawatirkan memunculkan kesenjangan sosial.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Na Endi Jaweng, dalam konferensi pers secara virtual, di Jakarta, Kamis (8/9).
Ia mengatakan, ada kekhawatiran munculnya ketimpangan pendapatan antara pekerja peserta BPJS ketenagakerjaan dengan pekerja non-BPJS atau pekerja informal.
Bantuan BSU tersebut digelontorkan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat yang terdampak dari penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Permasalahannya, kenaikan tersebut berdampak kepada seluruh perkerja di Indonesia.
Sebagai informasi, pemerintah telah mengesahkan penyesuaian harga BBM subsidi dan non-subsidi pada 3 September 2022.
Rincian kenaikan, pertalite dari Rp.7.650 per liter menjadi Rp10.000. Untuk solar subsidi naik dari Rp.5.150 rupiah per liter menjadi Rp.6.800. Sedangkan pertamax naik dari Rp.12.500 per liter menjadi Rp.14.500.
Penetapan penyesuaian tersebut, dilakukan untuk melakukan pengalihan anggaran subsidi BBM ke subsidi yang lebih tepat sasaran.
Penyaluran bantuan yang semakin inklusif tersebut, menyulitkan pekerja formal non-BPJS dan pekerja informal untuk menerima haknya.
"Sisi substansi perlindungan sosial, apalagi pasca kenaikan BBM ini semua tentu kita menyadari bahwa dampak kenaikan BBM ini, terjadi kepada semua orang," tutur Robert sapaannya.
Disisi lain, Robert mengatakan bahwa penyaluran dengan menggunakan data BPJS akan lebih memudahkan penyaluran dan lebih tepat sasaran.
Pasalnya, melalui data dari BPJS pemerintah akan menerima informasi yang lebih mutakhir dan lengkap, sehingga penyaluran menjadi tepat sasaran.
"Kelengkapan data tersebut, akan mempermudah penyaluran bantuan," ujar Robert. (Gabid)