Pencopotan Aswanto

Pencopotan Aswanto, Pengamat Sebut DPR Resah Keberadaan Hakim Konstitusi

Pencopotan Aswanto sebagai Hakim MK secara tiba-tiba oleh DPR menuai banyak kritik dari kalangan masyarakat khususnya pengamat politik.

Featured-Image
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Constitutional and Adminstrative Law Society (CALS) dalam diskusi pencopotan Hakim MK Aswanto, di Jakarta, Senin (3/10) (foto: apahabar.com/Leni).

bakabar.com, JAKARTA - Pencopotan Aswanto sebagai Hakim MK secara tiba-tiba oleh DPR menuai banyak kritik dari kalangan masyarakat khususnya pengamat politik.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai tindakan DPR itu mencerminkan bahwa sebenarnya mereka sudah tidak nyaman dengan keberadaan hakim-hakim konstitusi.

“Terutama hakim Aswanto yang tidak sejalan dengan DPR,” kata Feri di Jakarta, Selasa (4/10).

Ia mengatakan Komisi III DPR melakukan kesalahan fatal melihat Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan yang dianggap dapat dijadikan sebagai alat legitimasi kepentingan politik.

Sebagaimana yang diketahui, mulai dari pengujian Undang-Undang Cipta Kerja hingga tentang syarat pencalonan Wakil Presiden memiliki keterkaitan dengan Mahkamah Konstitusi.

Sementara itu, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai bahwa pencopotan sewenang-wenang hakim konstitusi Aswanto juga mencerminkan anggota DPR yang tidak konsisten terhadap kemauan mereka sendiri.

Dalam revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terbaru, DPR menginginkan adanya revisi terhadap periodesasi hakim konstitusi, seperti batas maksimal usia pensiun hakim konstitusi yang semula 70 tahun menjadi 75 tahun.

Kemudian maksimal menjabat selama 15 tahun sebagai hakim konstitusi, justru dalam tindakan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto DPR melanggar komitmen mereka sendiri.

Fadil meminta agar Pesiden tidak perlu menanggapi keputusan DPR tersebut karena akan berdampak buruk terhadap posisi presiden itu sendiri.

Meskipun keputusan DPR ini belum final, kedua pengamat itu menyatakan bahwa masih terdapat upaya-upaya hukum, maupun non-hukum untuk membatalkan keputusan DPR tersebut.

Upaya hukum terkait antara lain, menggugat keputusan DPR Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena tuduhan melanggar hukum dan tidak sesuai dengan asas AUPB.

Namun, upaya hukum ini hanya bisa dilakukan oleh hakim Aswanto sebagai subjek hukum yang dirugikan dengan adanya keputusan tersebut.

Sedangkan, dari segi nonhukum, masyarakat bisa melaporkan anggota dewan yang terlibat dalam proses ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan DPR-RI, dan mendesak DPR mencabut keputusannya mencopot hakim Aswanto.

Lebih jauh kedua pengamat menyepakati lima poin tuntutan. Pertama, meminta DPR untuk segera mencabut keputusan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto.

Selanjutnya, mendesak Presiden untuk tidak melegalkan keputusan DPR tersebut. Selain itu, meminta Presiden dan Mahkamah Agung untuk tidak melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh DPR.

Kemudian, tidak melakukan evaluasi terhadap jabatan hakim MK secara personal karena putusannya.

Terakhir mendesak Presiden, Mahakmah Agung dan DPR untuk melaksanakan proses rekrutmen dan seleksi hakim MK secara transparan, akuntabel, dan partisipatif untuk mencegah terulangnya hal yang sama.

Sebelumnya, Komisi III DPR RI mengganti Hakim Konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah. 

Penggantian itu juga telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR Kamis (29/9).

Alasan DPR dalam pencopotan Aswanto karena yang bersangkutan sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR.

Editor


Komentar
Banner
Banner