bakabar.com, JAKARTA - Pemberlakuan kebijakan European Union Deforestation Regulations (EUDR) terbaru telah memberi dampak negatif terhadap kinerja ekspor komoditas unggulan Indonesia. Untuk itu, KADIN Indonesia menyarankan pemerintah agar memperkuat diplomasi ekonomi, seperti Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA), dan kerja sama bilateral, dan multilateral lainnya.
Selain pemerintah, KADIN menilai harus ada peran dari pelaku usaha dan kolaborasi multi-pihak dengan pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-sama memperjuangkan komoditas perdagangan Indonesia, khususnya bidang pertanian agar bisa diterima pasar Uni Eropa.
Kolaborasi pemerintah dan pengusaha sangat penting karena skema keberlanjutan perdagangan internasional membutuhkan modal, pengetahuan, teknologi dan inovasi serta kualitas SDM yang berkualitas. Salah satunya untuk membuktikan bahwa produk yang dihasilkan memang ramah lingkungan.
"Kerja sama yang erat antara pemerintah, swasta dan petani ini bisa mengakselerasi dan akhirnya kita bisa membuktikan jika produk pertanian/perkebunan kita itu ramah lingkungan," ujar Ketua KADIN Indonesia kepada bakabar.com, Rabu (24/5).
Baca Juga: KADIN Indonesia: EUDR Berdampak Negatif Terhadap Petani
Selama ini, produk perdagangan Indonesia ditolak masuk ke Uni Eropa karena black campaign yang dianggap turut andil dalam merusak lingkungan. Untuk itu, pemerintah dan pengusaha harus melakukan advokasi dan kampanye positif.
Indonesia harus mampu menunjukkan bahwa kegiatan produksi dan tata kelola yang dilakukan telah didasarkan atas praktik keberlanjutan. Termasuk ditandai dengan adanya sertifikasi keberlanjutan untuk produk-produk komoditas ekspor.
Selain itu, pemerintah harus mampu menunjukkan data terkait laju deforestasi di Indonesia. Pasalnya, pemerintah selama ini mengeklaim telah terjadi penurunan 75% dan merupakan laju deforestasi terendah sejak 1990.
"Misalnya bisa kita undang media mereka, bisa kita undang bagian pengawasan perdagangan mereka atau auditor mereka untuk melihat proses pertanian dan perkebunan kita yang sudah mengikuti standar internasional dan tidak terkait dengan deforestasi,"
Baca Juga: Di Sela KTT G7, Menko Airlangga Hadiri Pertemuan dengan Eropa dan Korea
Arsjad menilai pertanian atau perkebunan yang menerapkan prinsip berkelanjutan harus sesuai standar atau ditunjukkan dengan sertifikasi internasional.
"Misalnya sertifikat SLVK untuk produk kayu dan turunannya yang telah diakui EU, dan untuk sawit telah menerapkan secara mandatory ISPO yang berarti tata kelola industri sawit telah memenuhi prinsip keberlanjutan," terang Arsjad.
Ia menambahkan, "Ini bukan semata-mata untuk dapat diterima oleh pasar internasional, tapi juga demi keberlanjutan masa depan lingkungan."
Di luar Uni Eropa, Indonesia juga harus memperkuat pasar regional Asia dan ASEAN. Negara-negara seperti China, Jepang, Singapura, hingga AS memang masih menjadi mitra dagang utama Indonesia, dan perlu diperluas lagi.
Baca Juga: Komoditas Pakaian dan Alas Kaki, BPS: Permintaan Naik pada Lebaran 2023
"Kita harus membangun kerja sama bilateral, multilateral dan sebagainya terkait ekonomi dan perdagangan di kawasan lainnya, Bisa dengan Eropa Timur atau Eurasia, bisa juga Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika dan sebagainya" ujarnya.
Saat ini Indonesia menjadi Ketua ASEAN dan juga Kadin Indonesia mengemban amanat sebagai ASEAN Business Advisory Council. Melalui tema ASEAN sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Global, Indonesia harus memanfaatkan momentum tersebut untuk menghasilkan yang terbaik bagi bangsa ini.
"Indonesia harus bisa menjadi leader dalam memperkuat ekonomi regional atau kawasan, agar kita bisa memiliki pasar alternatif dalam kondisi perang dagang, di mana semua negara memiliki persekutuan untuk melindungi kawasannya," tutupnya.