Oleh Ngatmiyatun, S.Pd.
Beliau Pak Rahmat, seorang paruh baya penjaga keamanan di salah satu gudang padi. Memiliki alat komunikasi baginya 'sunah' sebagai alat untuk memudahkan komunikasi dalam pekerjaan, itu pun handphone yang digunakan bukan termasuk handphone pintar seperti orang kebanyakan.
Putra sulungnya yang kala itu duduk di bangku SMP mulai meminta untuk dibelikan ponsel pintar, suatu keinginan yang menurut bapaknya terlalu dini. Namun, ada hal lain yang ia pikirkan, bukan tanpa alasan putranya meminta alat tersebut. Semua sekolah mulai belajar dari rumah, dan sangat masuk akal jika pembelajaran itu memerlukan alat untuk belajar.
Ini kali pertama pengalaman Pak Rahmat dalam waktu singkat. Ia dan anggota keluarganya bersentuhan dengan teknologi, sekaligus pendamping belajar layaknya guru yang turut andil dalam mengarahkan putranya mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dari sekolah. Ia menyadari bahwa mendamping belajar tidak semudah seperti mengolah lahan sawah, perlu kesabaran dan banyak belajar terlebih ketika anaknya sering mengeluh soal jaringan, kuota habis dan aplikasi yang terkadang perlu pemahaman ekstra.
Pengalaman Pak Rahmat mungkin saja dialami sebagian besar oleh masyarakat ataupun orang tua di Indonesia. Alat komunikasi handphone bagi sebagian orang bisa jadi bukan barang prioritas dan perlu untuk dimiliki. Di sisi lain orang beranggapan bahwa memiliki handphone pintar adalah tuntutan masyarakat modern sebagai pelaku 'digitalisasi informasi', 'transisi pasar', 'personal branding' dan tetek bengek lainnya.
Persoalan ini tentunya menjadi kutub yang saling berlawanan, dan semua sah-sah saja dengan tujuan pemakainya masing-masing.
Satu hal yang membuat semuanya bergerak lebih cepat adalah 'pandemi'. Semua elemen kehidupan mulai berbenah, dan mau tidak mau kita harus mengikuti tuntutan yang ada di depan mata 'berusaha' agar semuanya baik-baik saja.
Secara tidak langsung teknologi mengajarkan manusia bahwa ruang dan waktu bersifat tak terbatas. Hal ini dapat kita rasakan pergeseran berbagai bidang yang cukup signifikan, misalnya pasar tidak memerlukan lagi tempat khusus, karena sudah bergeser ke online shop. Pelayanan publik seperti perbankan, perpajakan, listrik, telekomunikasi, kependudukan, dan lain sebagainya mengalami pergeseran dari media kertas, yang harus dilakukan secara tatap muka beralih ke media online yang bisa diakses siapapun tanpa ribet. Begitu juga dengan pendidikan juga mengambil alih peran teknologi dalam pembelajaran jarak jauh tak terkecuali.
Bukan sesuatu yang mustahil jika teknologi masa depan akan datang lebih cepat menggantikan tenaga manusia di berbagai bidang dan berbagai keperluan. Pertanyaan yang muncul kemudian, "apakah masyarakat kita sudah siap dengan teknologi?, "apakah masyarakat kita paham literasi digital?"
Pertanyaan yang berkecamuk ini tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah khususnya para pegiat literasi di lapangan. Bukan tidak mungkin lompatan laju literasi dari literasi dasar baca-tulis yang diupayakan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan rangking literasi dunia, ke literasi digital yang jauh dipercepat oleh keadaan dari masanya justru akan menimbulkan masalah baru di lapangan.
Persoalan yang terjadi, sangat wajar ketika kita kurang terdidik dengan maraknya berita palsu, konten 'aneh' yang lekas viral, komentar 'pedas dan sarkas' para netizen, serta serangan mental kecanduan game online yang diperparah keadaan 'anak difasilitasi gawai' dengan alasan utama untuk sarana belajar.
Gejala sosial yang muncul dari serentetan masalah di atas merupakan data kekurangsiap-an kita di bidang literasi digital. Ada semacam euforia yang berlebihan dalam menggunakan teknologi cepat saji ini. Hal ini akan menjadi berbahaya ketika secara mental, pendidikan, maupun umur belum siap. Akhirnya masyarakat tergiring dengan pola hidup hedonisme, yakni mengambil jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu untuk mempercepat keinginan tanpa harus melibatkan rambu-rambu atau norma yang berlaku karena kesempatan terbuka seluas-luasnya melalui media ini.
Teknologi tidak dapat kita cegah, dan digitalisasi informasi adalah sesuatu yang harus kita kenali secara wajar. Satu hal yang tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam pendidikan "peran guru tidak dapat tergantikan teknologi, namun guru buta teknologi akan ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan". Perlahan tapi pasti, pandemi mengajarkan kita untuk berbenah, mempelajari apapun itu meski kadang kita dituntut terlalu cepat untuk memahami sesuatu yang semestinya belum waktunya. Literasi digital perlu pendampingan, saat ini masyarakat perlu edukasi, bukan sekadar jerat UU ITE yang barangkali sebagian besar masyarakat kita belum memahami alat yang digunakannya. Salam literasi, salam sehat untuk kita semua.
*
Penulis adalah guru dan pegiat literasi di Kabupaten Tanah Bumbu.