bakabar.com, JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mempertanyakan alasan hakim menjadikan caci maki netizen sebagai pertimbangan meringankan hukuman terhadap terdakwa kasus korupsi.
Dia mengatakan keadaan meringankan dan memberatkan terhadap terdakwa kasus tindak pidana sepenuhnya merupakan kewenangan majelis hakim.
Hal itu sekaligus merespons pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang memvonis eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dengan pidana 20 tahun penjara.
Salah satu keadaan meringankan yakni hakim menganggap Juliari sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Secara hukum kita belum memiliki batasan tentang apa saja yang dapat digunakan sebagai alasan yang meringankan maupun memberatkan sehingga sepenuhnya merupakan kebijakan dari majelis hakim,” ujar Agustinus dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (24/8).
Meskipun begitu, ia menilai keadaan meringankan yang disampaikan majelis hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari kurang tepat.
“Barangkali kalau mau dipertimbangkan sebagai adanya hal yang meringankan lebih tepat tentang adanya sanksi sosial yang telah dirasakan oleh yang bersangkutan dan keluarganya,” kata Agustinus.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari,mengaku baru tahu jika makian dan penghinaan terhadap pelaku korupsi termasuk Juliari dapat menjadi faktor meringankan bagi yang bersangkutan. Menurut dia, itu tidak masuk akal.
“Apakah hakim meneliti betul berapa banyak jumlah cacian publik itu dan bagaimana dampaknya jika cacian itu dilakukan secara daring?” kata Feri. “Saya baru tahu kalau pelaku kejahatan tidak disenangi publik ternyata itu akan berdampak meringankan bagi pelaku kejahatan,” lanjutnya.
Feri khawatir vonis terhadap Juliari dapat menjadi preseden buruk ke depannya. Tak hanya untuk kasus korupsi, melainkan juga terhadap tindak kejahatan lainnya.
“Jika seluruh cacian publik kepada koruptor bisa meringankan, maka seluruh koruptor akan buat mereka dicaci publik yang antikorupsi supaya dapat keringanan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Juliari divonis dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kader PDIP itu juga dijatuhi pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar subsider 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 4 tahun.
Dalam menjatuhkan putusan, hakim mengungkapkan salah satu keadaan yang meringankan yakni Juliari sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat. Juliari telah divonis oleh masyarakat telah bersalah, padahal secara hukum ia belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Juliari dinilai terbukti menerima suap senilai total Rp32.482.000.000 terkait dengan penunjukan rekanan penyedia bansos Covid-19 di Kementerian Sosial.