Opini

[OPINI] Artifisial vs Alami: Konstruksi Banjar di Jendela Seribu Sungai

Itulah juga yang terjadi saat film Jendela Seribu Sungai (JSS) ditampilkan di hadapan publik penonton

Featured-Image
Poster film Jendela Seribu Sungai.

Datang ke bioskop untuk menonton film yang menceritakan tentang budaya masyarakat dimana si penonton tinggal dan besar, barangkali adalah pengalaman personal yang menarik untuk ditelisik.

Oleh: Dewi Alfianti

PENGALAMAN orang Belitong menonton film Laskar Pelangi atau pengalaman orang Papua menonton film Denias, Senandung di Atas Awan tentu akan sangat berbeda daripada penonton yang tak tersangkut paut dengan dua tempat itu. Ada praanggapan tertentu yang hanya dimiliki si penonton empunya budaya yang tak dimiliki penonton lainnya.

Pertalian budaya antara penonton dengan apa yang ditontonnya inilah kemudian menjadi ujian terbesar bagi sineas yang hendak menggarap film berlatar budaya tendensius macam ini. Apakah penonton-penonton ini merestui penggambaran ihwal adat budaya mereka di film itu sebagai sesuatu yang oh-ya-budaya-kami-memang-seperti ini atau sebaliknya, yang muncul adalah suara memberontak tentang betapa kelirunya penggambaran itu.

Itulah juga yang terjadi saat film Jendela Seribu Sungai (JSS) ditampilkan di hadapan publik penonton. Penonton di luar Kalimantan Selatan secara umum akan fokus pada ceritanya. Gambaran adat budaya yang mengiringi film, baik sebagai tempelan atau substansi cerita, akan dimaknai secara taken for granted. Sebegitu adanya. Berbeda dengan penonton di Banua Banjar sendiri.

Menariknya, saya ternyata menemui dua tipe penonton di sini. Pertama, mereka yang meskipun urang Banjar, ternyata sama taken for granted-nya dengan penonton yang bukan orang Banjar, malah lebih antusias. Tipe pertama ini begitu bersemangat atas ide tentang Banjar dan segala yang ada di dalamnya menjadi sebuah film.

Ada euforia tertentu dari ide Banjar masuk bioskop ini, berjejer dengan film kelas dunia macam Oppenheimer, Barbie, atau Mission Impossible. Euforia ini kemudian membawa pada apresiasi yang demikian besar. JSS menjadi seru karena ada cerita tentang Banjar di sana. Ini adalah tipe penonton yang membuat biaya produksi terasa sepadan, dan patut disyukuri, tipe pertama ini adalah tipe yang mendominasi penonton di Kalimantan Selatan, anak-anak saya misalnya adalah salah satu dari tipe ini.

Tipe kedua adalah urang Banjar yang membandingkan realitas yang mereka jalani sehari-hari di Banjar dengan apa yang digambarkan oleh film. Tipe penonton kedua ini kemudian menemukan banyak hal untuk dikomentari. Dan ya, saya adalah jenis penonton tipe kedua ini.

Sebelum lebih jauh, mengapa membandingkan antara realitas dan penggambaran realitas dalam film ini menjadi penting? Karena film ini telah lebih dahulu menyandarkan keseluruhan cerita pada realitas. Seakan tak ada yang sangat fiksi dari film ini tersebab fiksionalitasnya diinterupsi oleh bagian-bagian cerita yang terlampau realistis namun di sisi lain justru sangat tidak realistis jika menengok logika cerita. Berikut catatan saya atas film ini.

Romantisasi Realitas

Saya belum membaca novel yang ceritanya diadaptasi ke dalam film JSS ini. Saya teringat di sebuah situs berita ditulis, konon ada interval waktu hingga tahunan bagi filmmaker untuk riset terkait film. Saya tak mengerti, apakah di dalam novel, penggunaan jukung sebagai transportasi harian memang dilazimkan. Suatu pertanda bahwa penulis novel masih kurang riset. Atau adegan penggunaan jukung untuk transportasi sehari-hari ini ditambahkan belakangan di film, yang juga menandakan empat tahun riset ternyata belum cukup memadai.

Jukung kayuh bukan alat transportasi utama di Banjarmasin meskipun kota ini dikelilingi sungai. Sudah sangat lama sejak transportasi darat yang lebih praktis mengambil alih. Meski demikian bukan berarti tak ada anak sekolah yang menggunakan jukung sebagai transportasi utama. Tentu ada, tapi tidak di daerah Antasan seperti disebutkan dalam film.

Antasan adalah daerah pinggiran kota yang anak-anak usia sekolahnya ke sekolah dengan cara yang paling praktis, menggunakan kendaraan bermotor, angkutan umum, atau sepeda. Jukung-jukung digunakan secara masif di daerah Alalak Berangas, Basirih, atau Alalak Pulau, yang fungsi utamanya lebih sebagai transportasi penyeberangan daripada penyusuran.

Film ini mengkonstruksi bahwa jukung lazim digunakan sebagai transportasi harian, bahkan dalam salah satu dialog, Arian, sang tokoh utama, mengatakan pada Kejora, temannya, bahwa lebih cepat memakai jukung ke sekolah. Saya pernah menggunakan jukung sebagai alat transportasi saat menginap di rumah sepupu saya di Alalak Pulau, dan mengayuh jukung cukup melelahkan, lambat jika dibandingkan perahu motor, sama sekali tidak praktis.

Ada romantisme yang coba dibangun tentang betapa terhubungnya para tokoh ini dengan sungai sebagai bangunan besar kebudayaan melalui jukung. Semua memang tergambar romantis, sampai penonton menyadari, gambaran itu terasa dipaksakan. Demi konstruksi romantisme budaya ala jukung, disusunlah satu rute perkayuhan jukung yang tidak lumrah.

Rumah Arian di Antasan dan ia harus membeli kembang di tengah kota lalu tetiba jalan-jalan di sekitar Museum Wasaka yang jarak tempuhnya dua-tiga jam jika menggunakan perahu motor.

Dengan demikian, sungai sebagai sebuah pernyataan budaya dalam film ini menjadi sesuatu yang dipaksakan. Tidak menyatu dengan keseharian para tokoh. Film ini tak ada memotret satupun aktivitas masyarakat di sungai-sungai itu, sungai dari waktu ke waktu hanya hadir untuk menjadi latar bernuansa lokal para tokoh utama. Pertunjukan musik dan tari di pinggir sungai, penjaja kembang yang tetiba berjualan di Siring Tandean, atau perahu yang dikayuh para tokoh dari waktu ke waktu, semua terasa artifisial.

Beban Budaya

Hal lain yang membuat film secara psikologis terasa melelahkan adalah munculnya simbol lokalitas yang cenderung menjadi montase atau tempelan. Saya memahami bahwa film ini membawa misi besar untuk mengenalkan adat, seni, budaya Banjar, namun ia tak boleh abai dengan harmonisasi, kelogisan dan kualitas cerita.

Dengan demikian, parade upacara adat mulai dari Bamandi-Mandi untuk perempuan hamil tujuh bulan, kuriding yang dimainkan Arian dan ayahnya, munculnya bekantan di tengah-tengah cerita yang memicu munculnya buaya besar, anak-anak bermain logo, ibu-ibu yang bersiap merayakan maulid, atau ayah Arian yang tetiba meninggal karena ikut Haul Guru Sekumpul.

Baca Juga: Film Jendela Seribu Sungai Bikin Olla Ramlan Nostalgia Masa Kecil di Banjarmasin

Semua ekspresi budaya itu tak mengapa seandainya ia hadir sebagai bagian tak terpisahkan dari cerita yang turut membangun fiksionalitas. Namun, sebagiannya justru terjebak hanya untuk memberitahukan kepada khalayak bahwa ini lho lokalitas Banjar tanpa benar-benar menjadi sesuatu yang dapat diresapi secara mendalam.

Jika saja cerita misalnya mau bersetia pada perjalanan spiritual Arian dan ayahnya menekuni kuriding, atau bagaimana prosesi pengobatan balian ayah Kejora dalam membentuk jiwa kejora sendiri. Hal itu sudah cukup kiranya. Film ini tak membiarkan penonton beristirahat untuk memaknai peristiwa demi peristiwa karena ada beban untuk mengenalkan ertefak kebudayaan sebagai misi yang harus diselesaikan.

Persoalan Klise, Logika Cerita

Jika sebuah film memutuskan menjadi sangat realis, terlebih dengan pemilihan latar yang acuannya demikian eksis dalam kehidupan nyata, maka logika cerita menjadi harga mati.

Hal tak logis hanya ada di film-film yang tak berkomitmen pada kenyataan semisal film fantasi atau film horor. Bahkan film fantasi sekalipun memerlukan teknologi CGI untuk membuat apa yang terasa tidak lazim menjadi sesuatu yang terlihat realistis.

Bahwa naga misalnya harus tampak seperti naga yang digambarkan di buku-buku, atau jika tak, ia akan mendapat julukan naga Indosiar. Film realis akan selalu ditonton dengan menggunakan paradigma kelogisan cerita, baik oleh penonton kritis maupun penonton awam. Celah-celah ketidaklogisan akan selalu jadi gunjingan para penonton pasca menonton.

Baca Juga: Film Jendela Seribu Sungai, Kisahkan Perjuangan Anak-anak Meraih Mimpi!

Hal itu juga terjadi di film JSS. Hal pertama yang terasa tidak pas adalah linimasa cerita. Jika Arian SD di sekitar tahun 2016, maka Arian dewasa eksis di sekitar 10-15 tahun kemudian. Latar yang sama persis antara Arian SD dan dewasa menunjukkan ketaklogisan cerita. Kondisi Bunga yang menderita kelumpuhan juga membuat keberadaannya di belantara Loksado menjadi ketidaklogisan lainnya.

Bagaimana jukung kecil bisa meloloskan diri dari buaya besar di tengah sungai saat menemukan Bekantan di wilayah tak berpenghuni (karena si pemalu Bekantan takkan mudah menunjukkan diri di pemukiman) juga menjadi pertanyaan mengenai logika cerita lainnya.

Tapi sekali lagi, pertanyaan-pertanyaan macam ini hanya ada di kepala segelintir penonton. Meskipun pertanyaaan-pertanyaan itu berdengung di kepala saya, namun saya termasuk yang sangat senang ketika ada kawan berkabar bahwa rating film ini 9,0 dari 10.

Itu menandakan besarnya apresiasi penonton sekaligus juga menandakan bahwa film ini berterima dengan baik secara luas. Anak bungsu saya bahkan menyebut film ini adalah film terbaik yang pernah ditontonnya.

Oh ya, film ini tentu sangat direkomendasikan untuk anak-anak, ia secara konsisten membangun semangat untuk membangun hubungan interpersonal dengan orang lain serta semangat mengejar mimpi. Anak-anak selalu membutuhkan penguatan semangat pada hal-hal macam itu.

*

Penulis adalah Dosen FKIP ULM Banjarmasin.

Editor


Komentar
Banner
Banner