Saat prosesi hibah Pura tersebut tidak ada penolakan dari umat Hindu di Laweyan. Bahkan, sebagian besar dari mereka menyetujui prosesi hibah tersebut.
"Jadi tidak ada gejolak sama sekali. Bahkan berdasarkan buku dan cerita sejarah yang disampaikan. Memang tidak ada penolakan sama sekali bahkan masyarakat saat itu mendukung," ungkapnya.
Baca Juga: Misteri Bambu Pengikat Asmara, Konon Tumbuh dari Tusuk Sate
Pura tersebut kemudian dimanfaatkan Ki Ageng Henis menjadi langgar. Di tempat itulah syiar Islam diperluas Ki Ageng Henis dengan sejumlah kegiatan seperti salat berjamaah, mengaji, dan berdakwah
"Kemudian pada tahun 1800 sekian berubah menjadi masjid," imbuh Nugroho.
Dari segi bangunan, yang masih nampak menyisakan arsitektur pura adalah bagian tujuh anak tangga di pintu masuk utama masjid. Tak hanya itu, tiang hingga atap yang model bertingkat tiga masih bertahan hingga detik ini.
"Memang dari segi bangunan, setiap pura memiliki tangga. Jadi kalau dilihat di depan, kita lihat bangunannya pasti bangunan ini bangunan pura. Karena pura dimana-mana ada tapak naik," jelasnya.
Baca Juga: Menyusuri Tradisi Nyadran di Lereng Damalung
Meski sudah berumur ratusan tahun, dari segi bangunan masjid ini masih mempertahankan aslinya. Mulai dari tiang berbahan kayu jati yang masih dipertahankan. Hingga adanya bedug kulit sapi yang juga berumur ratusan tahun.
"Dari segi bangunan, Alhamdulilah, kita rawat dengan baik. Paling ada beberapa sisi yang memang bocor semaksimal mungkin kita benerkan. Untuk mengalami perubahan kita tidak merubah sama sekali bentuk-bentuknya.
Sejumlah penambahan yang dilakukan di antaranya seperti jendela dan ubin baru yang dikerjakan oleh remaja masjid dan juga ubin yang baru.
"Karena ditumpuk, ubin aslinya masih di bawah. Ini catnya juga masih mempertahankan warna hijau. Warna yang disukai Rasulullah," tutupnya.