Tak Berkategori

Nakes Wafat Meski Sudah Divaksin Sinovac, Kemenkes Beri Alasan

apahabar.com, JAKARTA – Di tengah lonjakan kasus Covid-19 banyak pula tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena…

Featured-Image
Ilustrasi tenaga kesehatan. Foto-Istimewa

bakabar.com, JAKARTA – Di tengah lonjakan kasus Covid-19 banyak pula tenaga kesehatan yang meninggal dunia karena terpapar virus corona.

Padahal tenaga kesehatan menjadi kelompok pertama yang menjadi sasaran vaksinasi Covid-19 dengan menggunakan vaksin Sinovac.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sebanyak 61 dokter meninggal setelah terpapar Covid-19 pada periode Februari-Mei 2021. Sebanyak 14 di antaranya telah menerima vaksinasi Covid-19.

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi merinci, 10 orang telah mendapat dua dosis vaksin Covid-19, sementara 4 lainnya baru menerima satu dosis. Sementara 47 dokter lainnya yang meninggal belum divaksin karena tidak memenuhi syarat vaksinasi yang memiliki penyakit penyerta.

“Data kami dari Februari 23 persen dokter yang meninggal sudah divaksin. Jadi dari 61 orang dokter itu, yang sudah divaksin baru 14, yang lain belum,” kata Adib dikutip dari CNNIndonesia.com belum lama ini.

Dia mengatakan kematian dokter akibat terpapar Covid-19 juga mengalami kenaikan pada Juni 2021. Dalam pekan ketiga, dia menerima laporan hampir 20 dokter yang meninggal.

Lalu mengapa masih banyak nakes yang gugur meski sudah divaksin?

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan banyaknya nakes yang masih terpapar Covid-19 karena kekebalan komunal (herd immunity) Indonesia belum tercapai lantaran penerima dosis lengkap vaksin Covid-19 baru tercapai 7,5% dari total sasaran 181.554.465 penduduk yang menjadi sasaran vaksinasi.

“Karena masih banyak yang belum divaksin ya, baru 13 juta yang mendapatkan vaksinasi lengkap. Jadi level proteksi komunitasnya belum cukup,” kata Nadia belum lama ini.

Sebelumnya dia juga menegaskan vaksin sejatinya bukan mengobati penyakit Covid-19 melainkan sebagai upaya preventif. Meskipun seseorang yang sudah divaksin masih berpotensi terpapar, namun kemungkinan besar mereka hanya akan mengalami gejala ringan hingga tak mengalami perburukan gejala sehingga harus dirawat di rumah sakit.

Namun tingginya risiko paparan virus Covid-19 terhadap nakes di tengah lonjakan kasus, membuat para ahli berpendapat untuk memberikan suntikan ketiga bagi tenaga kesehatan. Hal ini dinilai perlu dilakukan sebagai bentuk perlindungan dan mencegah angka kematian semakin meningkat.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pemerintah dapat memberi vaksin dosis penguat atau booster vaksin Covid-19 bagi penerima Sinovac. Menurutnya langkah ini diperlukan sebagai mutasi SARS-CoV-2 varian Delta.

“Kita perlu vaksin booster untuk terutama yang menerima Sinovac perlu sekali. Menurut saya booster vaksin ini harus yang memang merespons varian delta. Pokoknya varian Covid-19 terbaru. Ini penting sekali,” ujar Dikcy.

Apalagi sudah banyak tenaga medis yang sudah mendapatkan dua dosis vaksin Sinovac, namun masih ada beberapa yang berguguran karena terpapar Covid-19. Menurutnya efikasi Sinovac berbeda dibandingkan yang lainnya sehingga harus ada booster.

“Bukan berarti [Sinovac] tidak efektif tapi pada level tertentu itu yang membuat saya merekomendasikan harus ada booster [vaksin],” ujarnya.

Menurutnya vaksin Sinovac tetap dapat meminimalisir virus, namun pihak pengembang hingga kini tidak memberikan data terkait efikasi vaksin terhadap mutas terbaru. Dia membandingkan transparansi pengembang vaksin AstraZeneca yang blak-blakan terhadap data efikasi.

Dia mengatakan vaksin AstraZeneca dalam 1 kali suntikan memiliki efikasi di bawah 20% terhadap varian Delta, sedangkan pada dosis ke 2, vaksin memiliki efikasi 60%.

Saat ini pemerintah melalui Kemenkes mengatakan tengah menggodok kebijakan untuk memberikan booster vaksin untuk warga Indonesia di tengah melonjaknya kasus Covid-19. Inggris dan Rusia merupakan negara yang sudah memutuskan untuk memberikan vaksin dosis ketiga kepada warganya.

Siti Nadia mengatakan pihaknya masih menunggu hasil uji klinis tahap tiga oleh para produsen terkait wacana untuk melakukan booster vaksin corona. Nadia menegaskan, Kemenkes tak melakukan uji klinis tersebut. Namun, sebuah tim dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung sedang melakukan penelitian untuk menguji berapa lama antibodi yang dibentuk vaksin bertahan dalam tubuh.

Menurutnya dari dua pertimbangan itu, yang salah satunya termasuk masukan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) akan menjadi pertimbangan pihaknya untuk melakukan booster vaksin Covid-19 di Tanah Air.



Komentar
Banner
Banner