bakabar.com, YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina.
Ia menyebut konflik Palestina-Israel merupakan persoalan yang terkait dengan konstitusi Republik Indonesia. Bagi Muhammadiyah, mendukung kemerdekaan sepenuhnya rakyat Palestina adalah sebuah sikap yang sejalan dengan konstitusi Indonesia.
“Dalam persoalan kemerdekaan penjajahan, dan persoalan betapa penjajahan itu menghancurkan kehidupan dan itu persoalan konstitusional juga bagi bangsa Indonesia,” kata Haedar dalam diskusi publik ‘Konflik Arab-Israel, Peluang dan Tantangan Kemerdekaan’ yang disiarkan secara daring, dikutip dari CNN Indonesia, Senin (24/5).
Lebih lanjut, ia pun berharap ke depannya bangsa Indonesia tak terpecah lagi dalam bersikap atas persoalan Palestina, karena posisinya sudah jelas secara konstitusi. Apalagi, sambung dia, dibawa pada tujuan nasional yang ingin ikut serta dalam ketertiban dunia dan perdamaian abadi.
“Banyak nyawa telah melayang akibat konflik di Timur Tengah ini. Tolonglah ada elite bangsa yang membawa-bawa politik entah 2019 atau 2014, kenapa bisa kita menjadi kerdil bahwa Palestina bukan urusan kita?” kata Haedar.
Ia menilai apa yang dilakukan Israel sudah bisa diartikan sebagai penjajahan. Dan, sambungnya, Indonesia yang memiliki latar belakang sama sebagai negara pernah terjajah tak seharusnya terpecah belah membela bangsa dengan nasib serupa.
“Dan penjajahan ini sesungguhnya tragedi kemanusiaan paling pahit, paling kelam, paling zalim di muka bumi,” tutur Haedar.
“Di sinilah mestinya jangan sampai bangsa ini jadi pecah gara-gara mereaksi persoalan Palestina, karena posisinya sudah jelas. Maka kami apresiasi pada pemerintah yang telah mengambil posisi yang tepat, konsisten untuk tetap mendukung kemerdekaan Palestina,” sambungnya.
Haedar mengatakan Muhammadiyah merespons penjajahan terhadap Palestina melalui bantuan donasi dan moral politik, bukan dengan fisik.
Di lain sisi, Haedar menilai, konflik Palestina-Israel juga merupakan persoalan agama jika ditinjau dari perjalanan sejarah kedua negara.
Haedar berkisah, kala khalifah Umar bin Khattab membebaskan Yerussalem, ia menerbitkan Perjanjian Umariyah (Uhdah Umariyah) yang memuat jaminan kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Kota Suci itu. Peristiwa ini dalam konteks historis menandakan urusan Palestina ada sangkut pautnya dengan Islam.
“Tahun 644 Masehi Umar bin Khattab memperluas kawasan Islam di mana Palestina menjadi bagian dari dunia Islam. Sejak saat itu kemudian Palestina lekat dan tidak terpisahkan dari dunia Islam,” ungkapnya.
Di samping aspek historis, secara teritori juga berdiri Masjid al-Aqsa sebagai bangunan suci umat Islam. Saking melekatnya, masjid ini disebutkan dalam Alquran yakni pada surat Al-Isra ayat 1 yang memuat peristiwa Isra Miraj.
“Maka tidak keliru ketika problem Palestina itu ada sentuhan, ada irisan dengan persoalan keislaman dari aspek sejarah dan keberadaan Masjid al-Aqsa. Lebih-lebih bagi kaum muslim masjid yang bersejarah seperti al-Aqsa ini menjadi salah satu masjid yang menjadi jiwa dan nafas kehidupan umat Islam,” papar Haedar.
Ia menegaskan siapa saja yang mencoba mengganggu keberadaan Masjid al-Aqsa jelas bakal menjadi persoalan agama. Walau begitu, pemecahan masalah konflik ini berada dalam ruang lingkup ijtihad.
“Kalau umat Islam punya reaksi yang begitu meluas, pihak manapun jangan salah paham dan jangan gagal paham. Ada kaitan dengan sejarah dan denyut nadi kehidupan keislaman di mana Masjid al-Aqsa ada di situ dan Palestina sejak Umar bin Khattab adalah bagian dari dunia Islam,” pungkas Haedar.