bakabar.com, JAKARTA – "Mungkinkah orang dewasa dengan keterbatasan mental melakukan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap gadis kecil?" Demikian kiranya yang bakal terbesit di benak Anda ketika menonton film Miracle in Cell No. 7.
Sinema yang perdana tayang di layar lebar pada Kamis (8/9/2022) ini mengisahkan tentang Dodo Rozak, seorang pria dengan keterbatasan mental, yang hidup bahagia bersama putri semata wayangnya, Kartika. Mereka menjalani hari-hari penuh kebahagiaan, meski hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Namun, miris, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu hari, Dodo mendapat tuduhan telah memperkosa dan membunuh gadis seumuran putrinya, yang bernama Melati. Lantaran memiliki keterbatasan mental, Dodo tak bisa menampik dakwaan tersebut. Alhasil, dirinya dijebloskan ke penjara.
Menjalani Hukuman yang Bukan Kesalahannya
Film Miracle in Cell No.7 sejatinya adalah adaptasi dari sinema Korea berjudul sama. Dalam versi Korea, ayah dengan keterbatasan mental itu menjalani hukuman atas kesahalan yang bukan perbuatannya.
Ya, usai bertahun-tahun menjalani hukuman, putri yang sudah dewasa itu berhasil membuktikan bahwa ayahnya tak bersalah. Sayang, pembuktian tersebut terbilang terlambat, mengingat sang ayah sudah kadung dieksekusi mati.
Kisah salah tangkap yang demikian bukanlah fiksi semata. Penghukuman terhadap orang tak bersalah benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Bahkan, hukum pidana sampai mempunyai adigium tersendiri yang berbunyi, "Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah."
Memang sebegitu ngerinya fenomena salah tangkap. Bayangkan saja, seseorang yang tengah menjalani kesehariannya seperti biasa, tiba-tiba diciduk petugas keamanan dan dijebloskan ke penjara. Sebagaimana yang dialami sederet korban salah tangkap berikut.
Dikira Teroris 9/11 karena 'Salad'
Peristiwa 9/11 agaknya membuat Badan Intelijen Pusat (CIA) kelimpungan. Mereka menciduk ratusan orang tak bersalah, salah satunya pemuda Pakistan yang kala itu masih berusia 14 tahun, Mohammed Al-Gharani.
Dirinya dikerangkeng selama 11 tahun di Guantaamo hanya karena salah paham soal kata 'salad.' Bertahun-tahun, CIA mengira telah menahan pejabat keuangan Al Qaeda. Padahal, tuduhan itu salah kaprah.
Al-Gharani berbicara bahasa Arab dengan dialek Saudi, sedangkan penerjemah CIA berasal dari Yaman. Mereka menanyakan soal besaran 'zalat', yang dalam dialek Yaman berarti uang. Sementara, dalam dialek Saudi, kata tersebut berarti 'salad' yang banyak tersedia di rumah orang Pakistan.
Dihukum Mati padahal Punya Alibi
Dalam kisah detektif, tersangka yang punya alibi kuat bisa terbebas dari dugaan. Namun, hal ini agaknya tak berlaku untuk kasus Kris Maharaj.
Pada 1986, ketika Derrick dan Duane Moo Young dibantai beramai-ramai di hotel di Miami, warga Inggris itu diringkus polisi setempat. Padahal, Maharaj memiliki enam saksi mata yang mengatakan bahwa dirinya sedang berada 50 kilometer dari tempat kejadian perkara (TKP).
Miris, hakim tetap saja menjatuhkan hukuman mati. Beberapa tahun usai putusan itu, dua orang mantan pembunuh bayaran mengaku melakukan pembunuhan atas kakak beradik Moo Young.
Hakim pengadilan, ternyata, terbukti menerima suap. Hukuman mati Maharaj pun dibatalkan, namun, entah apa alasannya, dirinya tak langsung dibebaskan dan justru masih harus mendekam di penjara.
Temukan Jasad Korban Pembunuhan, Malah Ditetapkan Jadi Tersangka
Pada 2013, enam orang pengamen di Cipulir, menemukan mayat seorang pengamen lainnya bernama Dicky. Mereka pun melapor ke polisi setempat. Namun, entah apa dasarnya, mereka malah ditetapkan sebagai tersangka.
Andro Supriyanto, Nurdin Prianto, Fikri Pribadi, Fatahillah, Ucok, dan Pau dituduh membunuh Dicky, kemudian membuang mayatnya di kolong jembatan Cipulir. Salah seorang terduga pelaku, Ucok, mengaku awalnya diminta kepolisian untuk menjadi saksi.
Ucok menuturkan, kala itu, dirinya diiming-imingi sejumlah uang. Namun, dia justru mengalami penganiayaan dan dipaksa mengaku telah membunuh Dicky. Fikri pun mengalami perlakuan serupa, di mana dirinya dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Jika tidak, maka akan dipukuli atau diberi tindakan kekerasan lainnya.
Demikianlah segelintir kisah orang-orang yang menjadi korban salah tangkap, baik di negeri ini maupun di negara orang. Di Indonesia sendiri, mereka yang dibui tanpa dosa berhak menerima kompensasi.
Jumlahnya tak banyak. Hanya Rp1 juta bagi yang mengalami cacat fisik, serta Rp3 juta bagi yang meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam PP 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Adilkah? (Nurisma)