bakabar.com, MARABAHAN – Dalam berbagai bidang kehidupan, regenerasi terkadang menjadi kendala. Demikian pula penganyam purun tikus di Barito Kuala.
Batola memiliki dua sentra anyaman purun. Kecamatan Bakumpai mengunggulkan purun danau, sedangkan purun tikus merupakan tradisi lama yang berkembang di Kecamatan Belawang, tepatnya Desa Parimata.
Purun danau dijadikan bahan baku anyaman tikar, bakul, keranjang hingga topi. Pun demikian dengan purun tikus.
Namun purun tikus dianggap lebih berkelas sebagai bahan baku tas, karena lebih halus. Andaipun dijadikan tikar, harga yang ditawarkan lebih mahal ketimbang purun danau.
Pun perlakuan kepada purun tikus berbeda dengan purun danau. Harus dibarengi kesabaran, mulai dari pengambilan batang hingga finishing.
Batang purun tikus juga tidak bisa ditumbuk seperti purun danau, tetapi hanya digosok-gosok. Kalau digosok terlalu keras, batang juga bisa pecah dan tidak lagi bisa digunakan lantaran menurunkan kualitas.
Hanya masalah yang dialami pengrajin purun danau dan tikus, kurang lebih sama. Mereka kesulitan menggaet pengrajin dari generasi milenial.
“Mungkin karena membutuhkan waktu tak sebentar, kaum milenial kurang begitu antusias terhadap kerajinan anyaman,” cetus Raudatul Nadia, Bidang Pembinaan dan Pelatihan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Batola.
“Namun kami tak patah semangat untuk melestarikan kebudayaan ini. Salah satunya melalui pelatihan, baik tradisional maupun teknologi tepat guna. Intinya purun tikus tak hanya menjadi lembaran-lembaran tikar atau bakul biasa,” imbuhnya.
Khusus di Parimata, mayoritas masyarakat bisa menganyam purun tikus. Biasanya produksi mulai dilakukan pasca musim tanam padi.
“Juga terdapat tiga kelompok kerja yang serius menganyam purun tikus. Sementara bahan baku, pengrajin sendiri yang membudidayakan purun tikus,” jelas Raudatul.
Demi mempertahankan regenerasi, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskopperindag) dan Dekranasda Batola juga membawa anyaman purun tikus kepada warga yang biasa menganyam purun danau di Bakumpai.
Sementara ruang kosong untuk keterlibatan generasi milenial sedianya cukup besar. Dengan bantuan kemajuan teknologi informasi yang mengiringi mereka setiap hari, promosi maupun inspirasi diperoleh lebih mudah.
“Fakta tersebut memang benar. Imbasnya purun dapat dikatakan telat berkembang. Padahal kalau bicara purun, kesulitan utama adalah desain,” timpal Teguh Heryanto dari Djago Leather Work Yogyakarta.
“Sementara untuk mencari desain, dibutuhkan kreator yang memiliki wawasan luas dan fresh. Hal inilah yang bisa menjadi kunci perkembangan purun ke depan,” tambahnya.
Kesulitan lain yang menunggu adalah kehadiran pesaing. Terlebih anyaman purun tikus tak bisa mendapatkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), lantaran hampir semua daerah memiliki kerajinan anyam-anyaman.
“Tetapi aspek yang dapat dilindungi adalah Identitas Geografis (IG), sehingga purun tikus berkualitas dapat diklaim berasal dari Kalimantan Selatan dan Batola,” sahut Hasan Talaohu, Kabid Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Dinas Perindustrian Kalsel.
IG merupakan nama geografis dari suatu produk khas dan hanya terdapat di daerah geografis tertentu. Dengan kata lain, IG menjamin keaslian produk, peningkatan pemasaran produk khas dan jaminan hukum.
Tidak hanya purun tikus. produk yang bisa didaftarkan memiliki IG antara lain langsat Tanjung, beras unus, cabe tiung, limau madang, kasturi, ikan saluang, tabat barito dan pasak bumi.
Baca Juga: Dipadukan Kulit, Tas Purun Tikus Berharga Rp1 Juta Lebih
Baca Juga:SKKT Banjarmasin Utara Resmi Jadi Sentra Anyaman Purun
Baca Juga: Hj Ananda Gemar Pakai Tas Purun Ketimbang Tas Branded
Baca Juga: Kurangi Kantong Plastik, Ojol Gunakan Bakul Purun