bakabar.com, MARABAHAN - Intensitas kesibukan semakin meningkat di Desa Dwipasari, Kecamatan Wanaraya, Barito Kuala (Batola), menjelang Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1945, Rabu (22/3).
Perayaan Nyepi di salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Tengah (Kalteng) ini dipastikan lebih meriah.
Setelah dua tahun terkungkung pandemi Covid-19, ritual keagamaan umat Hindu tersebut kembali dapat menghadirkan banyak massa.
Makanya sejak sebulan sebelum puncak perayaan, warga Dwipasari sudah mulai mempersiapkan ogoh-ogoh yang bakal diarak dalam rangkaian mecaru.
Mecaru merupakan salah satu ritual yang dilaksanakan sehari sebelum hari raya Nyepi. Ritual ini bertujuan menetralisir pengaruh negatif Bhuta Kala agar tak mengganggu pelaksanakan catur brata.
Pecaruan kemudian diikuti dengan acara pawai ogoh-ogoh ke penjuru desa. Adapun ogoh-ogoh adalah karya seni patung yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala, serta biasanya berbentuk sesosok raksasa.
"Kami menyiapkan dua ogoh-ogoh yang sudah dikerjakan sejak sebulan lalu. Semua dikerjakan swadaya oleh warga," papar Kepala Desa Dwipasari, I Made Wastawan, kepada bakabar.com, Senin (20/3).
Baca Juga: Menengok Upacara Mepandes di Dwipasari Batola
Baca Juga: Pura Jagat Natha Widya Natha, Bukti Kerukunan Beragama di Batola
"Kalau yang paling besar berukuran setinggi 3 meter dan berat sekitar 30 kilgram. Sedangkan satu lagi lebih kecil dengan berat kurang lebih 20 kilogram," imbuhnya.
Ogoh-ogoh dibuat dengan bahan bambu atau kayu, kawat alumunium atau besi untuk kerangka. Kemudian sedikit styrofoam untuk membentuk dada, kaki dan wajah, lalu diwarnai dengan cat.
Dijadwalkan pawai ogoh-ogoh dilakukan, Selasa (21/3) sore. Setelah diarak keliling desa, ogoh-ogoh dibakar sebagai perlambang penyucian sifat jahat.
"Biasanya pawai ogoh-ogoh juga disaksikan warga dari desa lain di Wanaraya, termasuk dari Kalteng," papar Made Wastawan.
Sebelum pawai ogoh-ogoh, ritual keagamaan umat Hindu di Dwipasari dalam menyambut Hari Raya Nyepi adalah melasti dan tawur kesanga.
"Oleh karena Dwipasari tidak berada di pinggir pantai, melasti dilakukan di sungai besar," jelas Made Wastawan.
Kendati hanya beberapa kepala keluarga, warga Dwipasari yang beragama Islam juga telah terbiasa dengan ritual-ritual menjelang Hari Raya Nyepi tersebut.
"Warga muslim telah memahami dan menyesuaikan, karena hubungan antar umat agama di Dwipasari sudah terjalin harmonis," pungkas Made Wastawan.