bakabar.com, JAKARTA - Permasalahan kemacetan di kota-kota besar, khususnya Jakarta, merupakan pemandangan sehari-hari dan menjadi masalah klasik yang belum terurai dari beberapa era kepemimpinan.
Mengutip pemberitaan dari sejumlah media, berdasarkan daftar kota termacet yang dirilis TomTom Traffic Index baru-baru ini, Jakarta menempati posisi ke-29 dari 389 kota dunia.
Di ASEAN, Jakarta menempati urutan pertama kota paling macet. Di bawah Jakarta, ada Bangkok di posisi ke-57, disusul Singapura pada posisi ke-127, dan Kuala Lumpur pada tempat ke 143.
TomTom melakukan riset terhadap 389 kota di 56 negara dan enam benua di dunia. Penentuan kota termacet itu didasarkan pada perhitungan waktu perjalanan, biaya BBM, emisi karbon, dan kemudahan akses antarkota.
Baca Juga: PUPR Siapkan Sistem Bayar Tol Baru, Pengamat: Kurangi Kemacetan 30 Persen
Menjawab permasalahan kemacetan Jakarta yang semakin mengkhawatirkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan telah menyiapkan beberapa langkah sebagai solusi, di antaranya Dishub DKI akan menutup 27 u-turn atau putaran balik di lima wilayah Jakarta pada Juni 2023, yang ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan cukup tinggi di Jakarta.
Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR Ahmad Jayadi menilai kebijakan penutupan putaran balik hanyalah memindahkan titik kemacetan dari satu titik ke titik lainnya.
"Secara logika saja, jika memang tujuan pengendara berada di jalur seberang, maka otomatis pengendara tersebut tetap saja akan mencari jalan untuk memutar ke tujuannya," ujarnya.
Selain menutup putaran balik, Pemprov DKI juga berencana menambah jalan satu arah untuk mengatasi permasalahan macet di Jakarta. Dalam hal ini Jayadi melihat rencana kebijakan ini seperti setengah hati.
Baca Juga: Soal Atasi Kemacetan Jakarta, Kadishub: Masih Kita Evaluasi
"Jangankan untuk menerapkan sistem satu arah, menertibkan pengendara sepeda motor yang melawan arah/arus saja tidak pernah diatur tegas," katanya.
Pemprov DKI Jakarta juga berharap perusahaan mengatur jam kerja agar kendaraan tidak terlalu padat saat jam sibuk. Namun, lagi-lagi kebijakan tersebut hanyalah ‘setengah hati’ karena bentuknya hanya imbauan, menyerahkan pada masing-masing perusahaan soal pengaturan jam kerja pegawai.
Terakhir, rencana kebijakan terbaru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan adalah dengan penerapan electronic road pricing (ERP) alias jalan berbayar.
Pemerintah meyakini kebijakan ini dapat menekan kemacetan di Jakarta karena akan membuat pengguna kendaraan pribadi berpikir untuk membawa kendaraannya jika banyak pengeluaran ekstra selain untuk bahan bakar dan parkir.
Baca Juga: Kerja dari Rumah Solusi Urai Kemacetan Jakarta?
Jayadi menilai, penerapan ERP membutuhkan kajian yang sangat panjang dan matang karena kebijakan ini akan memiliki dampak sosial yang cukup luas. Bahkan di beberapa negara maju seperti Hong Kong, Edinburgh, atau kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat, rencana penerapan ERP mendapat banyak penolakan.
Hal ini terbukti, ketika aturan soal ERP yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik (PLLE) mendapatkan penolakan dari para pengemudi ojek online.
"Karena penolakan itu, Raperda ERP sempat akan ditarik, namun Pemprov DKI batal menarik raperda tersebut," ujarnya.
Baca Juga: Atasi Kemacetan Jakarta, Pengamat: Benahi Transportasi Umum!
Seperti setengah hati, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo langsung merespons penolakan tersebut dengan mengatakan ojek online (ojol) bakal dikecualikan pada penerapan ERP.
Padahal jika diterapkan di lapangan, bagaimana cara mengidentifikasi pengendara yang merupakan ojek online atau bukan? "Pasalnya ojek online hanya bermodalkan jaket, tanpa ada perbedaan warna tanda nomor kendaraan bermotor, seperti transportasi umum lainnya yang berwarna kuning," tandasnya.