Histori

Mengupas Sejarah Soreng, Tentang Arya Penangsang dan Dendamnya pada Hadiwijaya

Gerak rampak tarian dengan iringan musik bertalu-tali memecah keheningan di kaki Gunung Merbabu. Rias wajahnya tegas, perawakannya tegap bak prajurit yang siap

Featured-Image
Tari Soreng khas Magelang yang ditampilkan Sanggar Kinnara Kinnari di Desa Bahasa.

Guna menuntaskan dendamnya, Arya Penangsang mengutus pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa Sunan Prawata. Ia berharap setelah Sunan Prawata meninggal tahta jatuh ke tangannya.

Arya Penangsang pun berusaha menyusun kekuatan prajuritnya dan berlatih keras setiap hari di alun-alun untuk mempersiapkan peperangan.

Prajurit tersebutlah yang dikemudian hari dikenal dengan Soreng atau pasukan dari Arya Penangsang. Puncaknya, pada suatu hari, saat latihan perang sedang berlangsung, tiba-tiba datanglah seorang pekatik (pencari rumput untuk kuda) kadipaten yang diperung (dipotong daun telinganya) dan diikatkan surat tantangan pada telinga yang sebelah.

Kejadian tersebut sontak memicu amarah Arya Penangsang hingga mengobarkan peperangan.

Pakaian dan waktu penampilan

Penasehat Kesenian Tari Soreng, Taryono (65) mengatakan kostum atau busana yang dikenakan para pemain Soreng cukup unik.

"Pakaian yang digunakan penari soreng menggunakan jarik bermotif parang berwarna putih dengan ikat kepala, celana panjen, stagen, sabuk cinde, dan kalung kaje," tuturnya.

Sedangkan untuk rias, para pemain Soreng akan merias sendiri wajahnya dengan karakter tegas dan rona wajah merah. Namun tiap tata rias yang dipilih harus sesuai dengan karakter dan sifat tokoh yang akan dimainkan.

“Ada soreng patih, soreng rono, dan soreng rangkut. Masing-masing soreng punya fungsinya sendiri. Jadi yang membedakan hanya kostum dan ikat kepala,” jelas Taryono.

Baca Juga: Sambut Ramadan, Warga Cungking Banyuwangi Gelar 'Resik Lawon'

Menurut Taryono, tanggapan (permintaan pentas) Soreng bisa dikatakan dari warga biasa hingga instansi pemerintah.

Pementasan biasa dilakukan pada saat sadranan (upacara menghormati keluarga yang telah meninggal), merti dusun (bersih desa/selamatan desa/sedekah bumi), upacara pernikahan, sunatan, acara di instansi pemerintah, dan festival kebudayaan.

Sedangkan untuk biaya pementasan, Taryono mengatakan, tidak ada patokan khusus, namun diminta untuk mengganti operasional, antara Rp2 juta sampai Rp3 juta. Sedangkan untuk instansi pemerintah Rp5 juta-Rp10 juta termasuk transportasi dan konsumsi.

Editor


Komentar
Banner
Banner