Histori

Mengenang Shinta Ratri, Transpuan Muslim yang Menggagas Pesantren untuk Waria

Pejuang hak beribadah itu berpulang pada Rabu (01/02). Kerja-kerjanya untuk mengadvokasi hak beragama bagi kelompok minoritas hingga kini masih akan belanjut.

Featured-Image
Shinta Ranti dan koleganya saat dikunjungi Kyai Haji Bisri Mustofa (Foto: Arrahim.ID)

bakabar.com, JAKARTA - Namanya Shinta Ratri, ia adalah transpuan pertama di Yogyakarta yang menggagas pondok pesantren untuk waria. Kini pejuang hak beribadah itu berpulang pada Rabu (01/2).

Kerja-kerjanya untuk mengadvokasi hak beragama bagi kelompok minoritas hingga kini masih akan dilanjutkan oleh generasi berikut. 

Shinta sebagai transpuan sudah tamat menerima cibiran, hingga persekusi lantaran jati dirinya sebagai transpuan. Dalam banyak hal Shinta kerap menegaskan jika apa yang ia alami tak lantas membuat ia menyembunyikan dirinya. 

Baca Juga: Bunda Corla Dikira Transgender Gegara Suara Berat, Benarkah Pengaruh Rokok?

Ia meyakini dirinya hanya menjalankan panggilan jiwa sebagai perempuan dan memilih berani mengekspresikannya. Meski sempat mengalami penolakan, ia terus melawan. Keluarga Shinta pun akhirnya menerima identitas dirinya sebagai seorang perempuan. 

Kendati demikian Shinta memilih hidup mandiri, sejak kecil ia sudah berniaga untuk menghidupi dirinya sendiri. Lulus sebagai Sarjana Biologi dari Universitas Gadjah Mada, Shinta memilih profesi sebagai pengusaha kerajinan perak.

Ia juga aktif memberdayakan para waria di lingkungan Yogyakarta melalui Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Shinta juga dipercaya untuk memimpin Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta.

Baca Juga: Transgender dan Dinamika Beragama

Dalam naungan pondok pesantren itu dia bersama puluhan waria lainnya memiliki misi untuk mencari Tuhan. Mereka berhasil mendapatkan hak untuk beribadah dan mendapatkan bimbingan keagamaan sebagai santri. Tak jarang, para santri melakukan kunjung ke pesantren lain untuk berbagi pengetahuan.

Mendirikan sebuah ruang aman untuk beribadah para transpuan bukan tanpa halangan. Pada Februari 2016, Pesantren Al Fatah sempat digeruduk Front Jihad Islam (FJI). Mereka berdalih meminta Shinta dan santri lain bertobat.

Mereka juga menuding Shinta hendak menyebarkan ajaran sesat, perkawinan sejenis, hingga menjadi tempat mabuk-mabukan berkedok pesantren.

Baca Juga: Oknum Kiai Jember Cabuli 4 Santri di ’Benteng Aqidah’

Namun sejumlah aktivis HAM, dan beberapa lembaga seperti Komnas Perempuan, hingga anggota DPR-RI membela dan melawan sikap FJI. Hingga saat ini Pondok Pesantren itu masih berdiri dan menjadi ruang aman puluhan transpuan. Terutama bagi mereka yang mengalami keterbatasan untuk dekat dengan Tuhannya di ruang publik.

Kerja-kerja Shinta bukan hanya membawa perubahan yang substantif, keringatnya kini mewujud rumah bagi siapa saja yang merasa dikucilkan.

Pada masa-masa senjanya, Shinta tak henti berharap, agar kesempatan beribadah yang merupakan hak semua gender itu tak akan berhenti di pondok pesantren Al-Fatah.

Editor


Komentar
Banner
Banner