toleransi beragama

Mendulang Makna Toleransi di Kampung Sawah

Katedral dan Istiqlal berdampingan puluhan tahun lamanya sebagai ikon tenggang rasa Indonesia. Denyut kehidupan serupa pun turut melanggeng di Kampung Sawah

Featured-Image
Harmoni toleransi di Kampung Sawah. Foto: Jadiberita.com.

bakabar.com, JAKARTA - Katedral dan Istiqlal telah berdampingan puluhan tahun lamanya di jantung ibu kota sebagai ikon tenggang rasa ala Indonesia. Denyut kehidupan serupa pun turut melanggeng di Kampung Sawah, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Malahan, pemukiman berjuluk ‘Kampung Pancasila’ itu menyatukan kerukunan antarumat beragama dengan tiga keyakinan berbeda; melalui Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katolik Santo Servatius, dan Masjid Al Jauhar Yasfi yang bercokol megah di sana.

Pluralitas yang demikian, kabarnya, sudah terjalin sejak 1800-an, jauh sebelum negeri ini merdeka. Tokoh masyarakat di Kampung Sawah, Matheus Nalih Ungin, menuturkan bahwa perkembangan Katolik dimulai pada 1896.

Perkembangan tersebut ditandai dengan pembaptisan 18 Putra Kampung Sawah dari berbagai marga yang dilakukan oleh Pastur Bernardus Schweitz. Ini merupakan imbas dari perpecahan internal di Kristen Methodist dua puluh dua tahun sebelumnya, atau pada 1874.

“Kubu terpecah menjadi dua, yakni Gereja Kulon (barat) sebagai umat Protestan serta Gereja Wetan (timur) sebagai umat Katolik yang dibatasi secara geografis oleh Jalan Raya Kampung Sawah,” begitu cerita Matheus, seperti dikutip dari Tribunnews.com, Kamis (15/12).

Dalam Gereja Kulon, kembali terjadi perpecahan internal, yang akhirnya membuat seorang guru bernama Nathanael menghadap Vikaris Keuskupan Batavia. Pertemuan itu dimaksudkan untuk meminta agar mereka masuk Katolik.

Alhasil, tertanggal 6 Oktober 1896, dilakukanlah pembaptisan 18 Putra Kampung Sawah. Ini sekaligus menandai berdirinya komunitas Katolik di wilayah tersebut secara de facto.

Sementara, pada 1800-an, Matheus mengatakan umat muslim belum terorganisir dengan baik secara kelembagaan. Saat itu pula, belum ada rumah ibadah untuk penganut agama Islam ini. 

Barulah pada 1972, bertepatan dengan kedatangan Kyai Rahmadin Afif, umat muslim mulai terorganisir dengan baik. Boleh dibilang, sosoknya merupakan guru sekaligus tokoh muslim pertama di Kampung Sawah.

Tak berselang lama, dibangunlah sebuah masjid di daerah Pasar Kecapi. Benih-benih toleransi pun mulai terendus dari kejadian ini, di mana bendahara dari pembangunan rumah ibadah itu beragama Katolik.

Tak Lekang dari ‘Perseteruan

Kendati toleransi telah melanggeng berabad-abad lamanya, bukan berarti kehidupan beragama di Kampung Sawah senantiasa adem ayem. Matheus tak menampik bahwa ‘perseteruan’ juga pernah terjadi di sana.

Seperti halnya, sempat ada pendakwah yang kedapatan berupaya merusak kerukunan di Kampung Sawah dengan 'mengompori' umat muslim. Beruntung, saat itu juga, Kyai Rahmadin segera mematikan pengeras suara di luar, sehingga hanya terdengar di dalam saja.

“Pak Kiai mempunyai prinsip tidak boleh ada yang mengotori Kampung Sawah ini, membuat saya dan teman-teman semakin semangat menjaga persatuan,” beber si Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Servatius itu.

Matheus pun memberikan contoh lain: fanatisme antara umat Kristen dan Katolik yang dulu sempat meradang. Semisal, manakala ada dua insan dari kedua agama itu hendak menikah, perseteruan untuk pindah agama tak terelakkan.

“Ini tidak akan selesai sampai ada yang mengalah, harus ada yang pindah agama salah satu,” kenang pria yang identik dengan peci hitam itu.

Di balik sejumlah cekcok yang demikian, Matheus mengatakan, pikiran warga sekitar justru kian tercerahkan. Tekad mereka untuk menjaga kerukunan malah makin kuat, terus berlanjut hingga kini.

“Hidup seperti ini sudah menjadi keseharian kami. Contoh ketika saudara-saudara kami yang muslim (melaksanakan) Salat Ied, tanpa disuruh kami hadir di sana, karena itu sudah menjadi peran saya,” kata Matheus. 

Editor


Komentar
Banner
Banner