kuliner khas

Mencicipi Dawet 'Jembut' Khas Purworejo, Populer Sejak 70 Tahun Lalu

Dawet adalah minuman berupa campuran air gula, santan, dan cendol. Di Purworejo, dawet tampil beda dengan nama yang terkesan 'saru.'

Featured-Image
Dawet ireng Jembut Khas Purworejo (Apahabar.com/Arimbi)

bakabar.com, PURWOREJO - Dawet adalah minuman berupa campuran air gula, santan, dan cendol. Di Purworejo, dawet tampil beda dengan nama yang terkesan 'saru.'

Berbagai daerah memiliki versi dawet yang berbeda-beda dengan ciri khasnya masing-masing.

Dawet di Kabupaten Purworejo juga memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan daerah lain. Perbedaan dawet Purworejo yakni cendolnya berwarna hitam dan akronimnya yang unik.

Minuman berbahan dasar santan dengan cira rasa manis dan menyegarkan itu di Kabupaten Purworejo disebut dawet Jembut.

Jangan salah, Jembut di Purworejo adalah akronim dari Jembatan Butuh, tempat yang populer sebagai produsen Dawet terbesar.

"Banyak yang mengira nama dawet disini itu 'saru' (tidak sopan) padahal ini akronim, sudah populer sejak 1950 an," kata salah satu pedagang dawet ireng, Mulyadi (40).

Sebagai generasi kedua pembuat dawet ireng, Mulyadi menuturkan, warna hitam pada minuman tradisional itu terbuat dari bahan-bahan alami.

"Warnanya berasal dari abu bakar jerami atau merang yang dicampur dengan air, jadi hitam, kalau di daerah lain biasanya hijau," ujarnya.

Selain itu, Mulyadi mengatakan, dawet ireng khas Kabupaten Purworejo juga punya kekhasan yakni jumlah dawetnya lebih banyak dibanding air campuran santan dengan air gula.

"Saat membuat santannya, kami membuat dengan memeras langsung dari bungkusan serabut kelapa juga, jadi rasanya beda," katanya.

Kemudian, rasa dawet ireng juga tidak terlalu manis, namun ada sedikit rasa asin dan gurih dari santan.

Dawet ireng purworejo (Apahabar.com/Arimbi)
Dawet ireng purworejo (Apahabar.com/Arimbi)

Mulyono menuturkan, harga yang ditawarkan untuk semangkuk dawet ireng juga sangat terjangkau, yakni mulai Rp 5.000 hingga Rp 8.000 saja.

Dalam sehari, ia mampu menjual 50 hingga 100 mangkok dawet ireng di Kawasan Jembatan Butuh.

"Kami juga terkadang ikut di festival kuliner atau event-event daerah untuk promosi, mengikuti perkembangan jaman," katanya.

Setiap hari, Mulyono dibantu dua anaknya berjualan dari pukul 09.00 WIB hingga habis.

"Kadang kalau musim panas dan saat libur sekolah, lebih cepat habisnya, kalau penghujan lebih lama habisnya," ujarnya.

Semua bahan yang digunakan Mulyono berasal dari alam dan kebanyakan dari kebun sendiri.

"Maka ini hanya bisa bertahan semalam, karena tanpa bahan pengawet sama sekali," pungkasnya. 

Editor


Komentar
Banner
Banner