Opini

Mencari Rumah Sastra

Oleh Puja Mandela Pak Dosen kita resah. Dari 70-an lebih mahasiswanya, hanya dua orang yang mampu…

Featured-Image
Ilustrasi-Zulfikar/apahabar.com

Oleh Puja Mandela

Pak Dosen kita resah. Dari 70-an lebih mahasiswanya, hanya dua orang yang mampu menerima dan menyelesaikan tantangannya untuk menulis kritik sastra.

Ini jelas bukan kabar baik bagi dunia literasi sekaligus dunia sastra kita. Selain karena minat menulis yang memang rendah, menurut Pak Dosen, para mahasiswa mengeluhkan sulitnya mencari referensi bacaan sastra seperti cerpen, novel, atau puisi yang bisa diakses melalui mesin pencari.

Kalau pun ada, karya sastra yang tersedia di internet berasal dari luar daerah, bukan karya yang ditulis oleh sastrawan Banua. Sementara karya sastra penulis lokal cukup sulit ditemui di mesin pencari. Padahal, di masa pandemi seperti ini, nyaris tak ada cara lain untuk mencari karya sastra semacam itu. Satu-satunya cara, ya, dengan mengandalkan Mbah Gugel.

Faktanya, memang tak banyak sastrawan kita yang menerbitkan karyanya di blog atau website tertentu. Kebanyakan karya-karya sastrawan Banua diterbitkan di sejumlah media massa cetak, sehingga karya tulis mereka memang tidak dapat dinikmati via internet, kecuali jika kita menyimpan dokumentasi foto atau kliping korannya.

Seorang penulis bercerita bahwa dia hampir tidak pernah menerbitkan puisi atau cerpen di blog pribadinya, kecuali jika puisi itu sudah pernah terbit di media cetak. Ia khawatir karyanya akan dibajak makhluk sejenis dhemit yang suka copas sembarangan.

Hari ini, karya-karya sastra di Banua nyaris tak punya tempat lagi di media cetak. Pada April lalu, kita mendengar kabar duka bahwa halaman sastra di Koran Harian Radar Banjarmasin dinyatakan tutup sampai waktu yang tidak ditentukan.

Beberapa hari sebelumnya, redaksi Banjarmasin Post juga sudah melakukan hal yang sama. Dengan ditutupnya halaman sastra di dua koran raksasa Banua itu, berarti sastra di Banua sudah tak punya tempat lagi. Satu-satunya yang tersisa adalah media online non mainstream: Asyikasyik.com.

Selama ini Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin adalah media cetak yang menjadi harapan terakhir para sastrawan untuk menyalurkan ide dan kreativitas mereka melalui puisi, cerpen, dan karya sastra lainnya.

Kita juga sudah mengenal Media Kalimantan yang pernah menjadi tempat nongkrongnya para sastrawan di Kalsel. Namun, tiga tahun lalu, media ini wafat setelah sempat eksis selama 8 tahun.

Media lain yang pernah membuka halaman sastra adalah Harian Mata Banua. Tapi sebelum sempat menyaingi rubrik sastra media cetak lainnya, halaman sastra di media ini keburu ditutup oleh si empunya. Alasannya pun masih sama: tidak menghasilkan anu.

Dalam obrolan sore via media daring, saya membaca keresahan-keresahan itu. Saat ini sejumlah dosen dan sastrawan Banua merasa tak punya tempat untuk menyalurkan karya sastranya, kecuali mungkin hanya lewat Facebook yang konon mayoritas penghuninya adalah kaum purba. Para mahasiswa pun kesulitan mencari karya sastra dari penulis lokal untuk kepentingan pembelajaran dan penelitian.

Sementara di media online sendiri, boleh bilang belum ada yang membuka lapak khusus sastra. Padahal, rubrik sastra umum dijumpai di media nasional yang berusia jauh lebih tua dan lebih populer seperti detik.com, kompas.id, atau republika.co.id.

Dengan tutup totalnya lapak sastra di media massa cetak di Banua, sebenarnya bisa menjadi kesempatan bagi media online Banua yang ingin merangkul pangsa pasar baru, sebuah komunitas masyarakat yang keberadaanya tak boleh diabaikan begitu saja.

Namun, untuk menuju kesana memang bukan hal yang mudah. Apalagi para pembaca sastra tentu tak sebanyak orang yang membaca berita pencabulan, nabi palsu, gantung diri, atau berita tentang update terbaru pasien positif Covid-19 yang bisa mendongkrak kunjungan website dengan instan.

Hal lain yang barangkali membuat perubahan budaya membaca karya sastra dari media cetak ke media online agak sulit direalisasikan dalam waktu yang sangat dekat, karena para sastrawan nampak sulit move on dari kebiasaan membaca cerpen lewat media kertas. Membaca cerita pendek dengan jumlah kata lebih dari seribu sambil diganggu notifikasi WhatsApp atau Facebook yang sesekali muncul di layar hape pasti akan menjadi sesuatu yang menjengkelkan.

Masalah lainnya, guru dan dosen yang menulis di media online lokal belum mendapatkan kredit poin. Itu berbeda dengan menulis di media cetak. Di media kertas, mereka bisa menyalurkan hobi sambil mengumpulkan poin, tentu saja salah satu alasannya agar bisa cepat naik pangkat. Selain itu, karya-karya mereka akan benar-benar diakui jika sudah berhasil menembus koran-koran besar. Ada gengsi dan reputasi yang muncul di sana.

Istilah gampangnya, menulis di media online lokal di daerah kita memang belum benar-benar mendapat pengakuan dari publik secara luas. Keberadaan media-media online yang jumlahnya begitu banyak bak kacang goreng seringkali membuat bingung sebagian orang, karena mereka sulit membedakan, media mana yang kredibel, dan mana media online yang dikelola ala warung kopi.

Saya yang berada di dalam ruang diskusi secara daring bersama para dosen dan sastrawan merasa memiliki tanggung jawab untuk setidaknya menampung aspirasi itu.

Sejatinya untuk membedakan media online yang kredibel atau tidak bisa dilakukan lewat beberapa cara. Kita bisa mengecek apakah media online tersebut sudah terverifikasi di Dewan Pers? Dan apakah perusahaan media tersebut memiliki legalitas dan dikelola dengan profesional?

Sebab, tak sedikit media online yang dikelola ala kadarnya; pemimpin umumnya merangkap sebagai pemimpin redaksi, sekaligus redaktur pelaksana, sambil menjadi wartawan, bahkan juga nyambi jadi bendahara. Media semacam ini tentu tak bisa dijadikan referensi.

Kemudian, cek saja kunjungan per hari, per minggu, atau perbulannya. Dari situ, kredibilitas media online bisa dilihat oleh tim penilai yang berasal dari pemerintah daerah, pihak kampus, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Jika hal ini bisa dilakukan, saya kira semua orang akan berbondong-bondong mengirimkan karya tulisnya, baik opini, esai, cerpen, atau puisi ke media online yang sudah dianggap kredibel dengan harapan redaksi mau berkompromi menyediakan rubrik sastra untuk tetap menghidupkan dunia literasi yang menurut Pak Dosen kita, kondisinya jauh dari kata menggembirakan.

Atau yang terjadi bisa saja sebaliknya. Media makin meninggalkan sastra karena dianggap tidak menguntungkan dari segi bisnis. Lalu, kita akan membiarkan sastra mati sembari berharap suatu hari nanti tujuh bola naga bisa membuatnya hidup kembali.

Pramoedya Ananta Toer pernah dawuh begini: kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.

*
Penulis adalah redaktur bakabar.com



Komentar
Banner
Banner