Oleh : Isratul Ikhsan
PADA Rabu (14/7), ramai berseliweran di lini masa media sosial terkait hilangnya seorang pendaki yang teridentifikasi bernama Umar, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Banjarmasin, Kalsel.
Selang beberapa jam, Umar ditemukan dalam kondisi sehat, usai rombongan penduduk setempat melakukan penyisiran pada sejumlah alternatif jalur pendakian menuju Gunung Hauk, tempat Umar mendaki bersama 2 temannya.
Gunung Hauk yang berada di desa Ajung, Awayan, Kabupaten Balangan, belakangan menjadi destinasi populer pendakian masyarakat penghobi kegiatan luar ruangan di Kalsel.
Gunung tertinggi kedua di Kalsel setelah Halau-Halau ini masuk dalam barisan Pegunungan Meratus. Medan pendakiannya cukup menantang bagi pemula.
Kombinasi medan pendakian khas hutan hujan Kalimantan, kendati pada sepertiga wilayahnya sudah menjadi area perkebunan monokultur, masih menyuguhkan tantangan tersendiri.
Survival
Tulisan ini saya kira perlu digarisbawahi, bukan dalam konteks menjustifikasi kondisi yang dialami Umar, namun lebih pada upaya bersama untuk memberi perhatian serius terkait pentingnya kesiapan diri saat memulai kegiatan berbasis alam bebas.
Saat ini, pendakian selayaknya kegiatan hura-hura. Dokumentasi berupa foto dan video kerap menjadi tujuan. Mencapai puncak adalah tujuan akhir, sehingga abai pada potensi bahaya yang bisa muncul kapan saja.
Perkara yang dialami Umar, entah berlabel tersesat, menghilang, keluar dari jalur pendakian, atau apapun itu, satu dari potensi bahaya yang bisa dialami oleh siapa saja ketika beraktivitas di alam bebas.
Secara prinsip, mengacu pada keterangan Umar dikutip dari pemberitaan Radar Banjarmasin, apa yang dilakukannya, sejatinya sudah tepat. Kala ia keluar dari jalur pendakian, hari beranjak malam. Umar mengaku sempat panik, namun ia menenangkan diri, mencari tempat beristirahat, sambil memainkan cahaya senter untuk memberi kode dengan harapan bisa terlihat.
Cerita Mahasiswa STIMI Banjarmasin Tersesat di Gunung Hauk, Ternyata…
Paginya, Umar menyisir jalur sungai hingga bertemu dengan rombongan masyarakat sekitar yang melakukan pencarian.
Saya sedianya meyakini, Umar yang juga anggota Mahasiswa Pencinta Alam itu sudah memiliki kompetensi dasar bertahan hidup di alam bebas.
Bekal pengetahuan itu lantas menjadi juru selamat saat Umar keluar dari situasi survival atau kondisi yang mengharuskan seseorang bertahan untuk mencari jalan keluar.
Pun dengan keyakinan senada, saya tak ingin memberi label tersesat dalam kondisi yang dialami Umar.
Pasalnya, sebelum melakukan pendakian, Umar tak bakal serampangan, seperti kebanyakan para pendaki berbasis hobi.
Pengetahuan area pendakian, kepatuhan terhadap papadah kampung setempat, manajemen peralatan dan logistik serta informasi umum tentang medan pendakian adalah hal wajib yang harus dikantongi para anggota pencinta alam, yang diperoleh selama masa pendidikan sebelumnya.
SAR
Riuh perkara Umar, yang sekali lagi, dipicu cepatnya informasi beredar melalui media sosial, rasanya sedikit melabrak kepatutan.
Pasalnya, dari informasi yang beredar itu, secara gamblang masyarakat Desa Ajung, sudah menyatakan untuk tidak menyebarluaskan, karena mereka sedang melakukan pencarian.
Hal ini tentu bisa dimafhumi, sebab wilayah Gunung Hauk dan sekitarnya sudah seperti wadah mereka bermain.
Berpuluh tahun lamanya, mereka menyandarkan hidup dari wilayah tersebut, mereka berburu, berladang hingga mencari obat-obatan di sana.
Bahkan, bagi masyarakat setempat, Gunung Hauk punya nilai keramat.
Kalaupun kemudian, sejumlah elemen luar berniat untuk membantu melakukan pencarian, maka selayaknya komando pencarian dipegang masyarakat setempat.
Hal tersebut tentunya menjadi diktum umum dalam upaya Search and Rescue (SAR) atau terjemahan bebasnya mencari dan menyelamatkan.
Tim yang datang belakangan, bergerak berdasarkan koordinasi juga arahan tim pendahuluan.
BREAKING! Mahasiswa Banjarmasin yang Hilang di Gunung Hauk Ditemukan
Hal ini berkaitan erat dengan metode pencarian yang akan dipergunakan. Simpul komunikasi menjadi lebih terarah. Masing-masing kelompok penyelamat, berbekal arahan dan informasi tim pendahulu, bisa menentukan dengan tepat, perlengkapan penunjang apa yang bakal dibawa.
Jangan lupa pula saat melakukan pencarian dan penyelamatan, rescuer yang bergabung, mesti menilai diri sendiri.
Dari kekuatan fisik serta kemampuan pendukung, ia bisa memainkan peran seperti apa.
Jangan berniat menolong, malah berbalik ditolong, sehingga menyebabkan proses pencarian menjadi terhambat.
Belajar dari persoalan “tersesatnya” Umar, perlu kiranya para pegiat kegiatan luar ruangan yang kini menjamur, baik solois maupun mereka yang tergabung dalam komunitas, membekali diri dengan pengetahuan pendukung. Ini mutlak diperlukan, mengingat besarnya potensi bahaya yang melingkupi aktifitas tersebut.
Mendaki gunung, bukan sekadar perkara angkat carier seberat-beratnya, beli sepatu hiking berharga puluhan juta, namun kesiapan menghadapi semua kemungkinan, dan menyerap nilai-nilai yang mengajarkan kerendahan hati, penghormatan terhadap lingkungan serta pembelajaran tentang laku hidup sederhana adalah yang utama.
Penulis merupakan Ketua Umum Kelompok Mahasiswa Pencinta Alam dan Seni ” Borneo ” Universitas Lambung Mangkurat periode 2005-2007