bakabar.com, JAKARTA - “Mari berikan sistem pendidikan yang dapat mendukung masyarakat yang setara, ekonomi yang dinamis, dan impian tak terbatas dari setiap pelajar di dunia.” Begitu kiranya misi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) kala mencetuskan Hari Pendidikan Internasional.
International Day of Education, begitu nama lainnya, diperingati setiap 24 Januari. Peringatan ini merupakan bentuk upaya pengakuan hak asasi manusia atas pendidikan, serta hubungan antara edukasi dan tercapainya hak asasi manusia lain.
Kendati baru diresmikan per 1 Desember 2018, gagasan terkait Hari Pendidikan Internasional sudah digodok sedari 1989. Tepatnya pada acara Konvensi Hak Anak, PBB menciptakan Hari Pendidikan Nasional.
Tujuannya pun serupa, yakni memastikan bahwa pendidikan menjadi salah satu poin penting dalam hak asasi manusia. Selang 26 tahun kemudian, tepatnya per 2015, dirumuskan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Pokok dari perumusan itu juga senada dengan pembahasan sebelumnya: pendidikan menjadi perhatian global. Barulah tiga tahun berikutnya, atau pada Desember 2018, PBB menetapkan 24 Januari sebagai Hari Pendidikan Internasional.
Bukan sekadar seremonial belaka, Hari Pendidikan Internasional punya fokus yang jelas. Di antaranya, menekankan model pembelajaran beragam lagi sesuai kebutuhan, membangun kemakmuran, dan menanamkan nilai-nilai perdamaian.
Sejalan dengan Gagasan Bapak Pendidikan Indonesia
Gagasan Hari Pendidikan Internasional yang demikian, rupanya, sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Bapak Pendidikan Indonesia itu berprinsip bahwa masyarakat di negeri ini harus tumbuh sesuai kodrat, keahlian, dan apa yang mereka minati.
Sebab itulah, dirinya tak sepaham dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia. Ki Hajar Dewantara menilai sistem pendidikan yang demikian tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat bumiputera.
Masalah yang dihadapi Indonesia kala itu adalah minimnya kemampuan membaca, menulis, juga tak punya pengetahuan luas. Alih-alih mengasah kekurangan tersebut, Belanda malah ‘menyeragamkan’ semua siswa.
Ki Hajar Dewantara menilai penyeragaman pengetahuan seperti itu hanya akan menghasilkan pekerja yang menuruti kemauan atasannya. Hal tersebut jelas bertentangan dengan keinginan bangsa Indonesia yang hendak merdeka dan berdaya.
Sang Bapak Pendidikan terus berjuang untuk melepaskan masyarakat Indonesia dari belenggu sistem pendidikan Belanda. Sebab itulah, dia mendirikan Taman Siswa.
Taman Siswa merupakan ruang pendidikan formal pertama untuk masyarakat bumiputera. Tujuannya, tentu untuk membentuk pola pikir masyarakat Indonesia agar mampu berdaya, memiliki pemikiran cerdas, dan tidak lagi dibodoh-bodohi oleh bangsa kolonial dan kaum priyayi.