Marah Rusli

Marah Rusli: dari Dokter Hewan jadi Sastrawan

Terkenal sebagai penulis kisah Siti Nurbaya, Marah Rusli mengawali karir bukan dari sastrawan, melainkan seorang dokter hewan.

Featured-Image
Sastrawan Indonesia, Marah Rusli. Foto: Kompas

bakabar.com, JAKARTA Dikenal sebagai penulis kisah Siti Nurbaya, Marah Rusli mengawali karir bukan dari sastrawan, melainkan seorang dokter hewan.

Lahir di Kota Padang, Sumatera Barat, pada 7 Agustus 1889, Marah Rusli tumbuh dalam lingkungan keluarga yang beragama Islam dan keturunan bangsawan.

Ayah Marah Rusli, Sutan Abu Bakar, merupakan seorang demang yang memiliki gelar Sultan Pangeran. Ia juga diketahui masih keturunan langsung dari Raja Pagaruyung.

Ibunya berasal dari jawa dan masih keturunan dari Sentot Alibasyah, panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.

Marah Rusli juga membawa gelar Sutan yang berasal dari sang ayah. Kemudian berdasarkan tradisi Minangkabaru, anak laki-laki dari seorang ayah yang bergelar Sutan dan ibu yang tidak memiliki gelar akan bergelar "Marah".

Baca Juga: Mengenal W.S. Rendra: Seniman yang Selalu Berbicara Isu Sosial

Marah Rusli menempuh pendidikan pertama di Sekolah Melayu II hingga tamat pada 1904. Kemudian ia menlanjutkan pendidikan di Sekolah Raja Hoofden School hingga lulus pada 1910.

Berkeinginan menjadi dokter hewan, Marah Rusli berencana melanjutkan pendidikan pada Sekolah Dokter Hewan di Bogor. Sayangnya, pemintaan itu mendapat tentangan dari orang tua yang tidak mengizinkannya menjadi Dokter Hewan.

Namun, ia tetap menempuh jalur pendidikan tersebut hingga lulus pada 1915. Setelah lulus, Marah Rusli kemudian bekerja sebagai dokter hewan di Sumbawa Besar pada 1915.

Ia tidak hanya bekerja, selama di Sumbawa Besar, Marah Rusli diketahui senang memerhatikan kehidupan masyarakat sekitar. Mulai dari pengamatan itu, Marah Rusli menciptakan novel pertama berjudul La Hami.

Karirnya terus melonjak hingga pada 1920 ia diangkat menjadi asisten dosen di Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor. Hingga akhirnya menjadi dokter hewan di Jakarta.

Baca Juga: Mengenang Sosok Kusbini, Sang Pencipta Lagu Bagimu Negeri

Setelah berkarir di Jakarta, Marah Rusli pindah ke Balige, Tapanuli, Sumatera Utara, dan mengabdikan diri di bidang yang sama hingga era setelah kemerdekaan.

Meski meniti karir sebagai dokter hewan, Marah Rusli tetap menyumbang jasa untuk dunia sastra. Ia sering kali menulis dengan mengangkat tema kehidupan masyarakat sekitar selama mengabdi sebagai dokter hewan.

Berkat ketekunan berkarir dalam dunia sastra, Marah Rusli kemudian melahirkan karya terbesar yang bertajuk Siti Nurbaya. Novel tersebut menjadi karya sastra yang menjadikan Marah Rusli sebagai pelopor kesusastraan Indonesia modern.

Selain Siti Nurbaya, ada beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh Marah Rusli, seperti novel Memang Jodoh, Tesna Zahera, dan cerita anak berjudul Tambang Intan Nabi Sulaiman.

Ketekunan dalam melahirkan karya sastra membuat Marah Rusli dianugerahi gelar Bapak Roman Modern Indonesia oleh sastrawan HB Jassin.

Tidak hanya itu, Berkat novel Siti Nurbaya, Marah Rusli mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Indonesia pada 1969. Siti Nurbaya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

Ia terus berkarya hingga pada 17 Januari 1968, Marah Rusli menutup mata dalam usia 79 tahun. Marah Rusli kemudian dimakamkan di Kota Bogor, Jawa Barat.

Editor


Komentar
Banner
Banner