bakabar.com, JAKARTA – Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri menyatakan bahwa fasilitas yang dinikmati Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tahanan tersangka korupsi minim. Sebab, fasilitas yang diberikan telah diatur sesuai ketentuan perundang-undangan.
Ali mengatakan rumah tahanan (rutan) KPK sudah sesuai dengan UU yang menyebutkan bahwa setiap tahanan dilarang melengkapi hunian dengan alat pendingin maupun barang elektronik lainnya.
“Dalam Pasal 4 huruf (i) juga disebutkan bahwa setiap narapidana atau tahanan dilarang melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi, dan/atau alat elektronik lainnya,” ungkap Ali di Jakarta, Kamis (2/2).
Hal senada juga disampaikan mantan Kepala Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK), Yudi Purnomo Harahap yang ikut buka suara tentang keluhan Lukas Enembe.
Bahkan Yudi menyayangkan keluhan datang dari tersangka kasus korupsi yang diduga merugikan keuangan negara dan memanfaatkan jabatannya demi kepentingan pribadi.
“Nanti terbiasa juga mereka, rutan KPK udah sesuai standart dan aturan kok,” ujar Yudi saat dihubungi bakabar.com, Kamis (2/2).
Yudi berpandangan setiap kali tim penyidik menahan tersangka pasti awalnya para tahanan itu mengeluh soal fasilitas rutan yang berbeda dari tempat tinggalnnya sendiri. Tetapi kasus korupsi yang kadung dilakukan mesti dipertanggungjawabkan, termasuk keharusan meninggalkan kenyamanan.
“Saya paham kondisi mereka sebelum ditahan tentu punya rumah tinggal dengan fasilitas yang bagus dan mewah, springbednya besar, makanannya bagus ruangan kamarnya besar, bersih, bebas kemana mana, dilayani dll tentu shock ketika ditempati diruang tahanan dan tidak bebas kemana mana,” tambah Yudi.
“Bagi penyidik,saat tersangka ditahan diawal mereka ngeluh merupakan hal biasa,pengalaman saya ada saja dari soal makanan, kamar mandi, tempat tidur, air, mau kamar sendirilah,” pungkasnya.
Lukas Enembe melalui kuasa hukumnya mengeluhkan kondisi kamarnya yang jauh dari kata layak. Ia mengeluh soal kasur yang hanya tipis dan keras sehingga membuatnya tidak nyaman saat beristirahat.
Diketahui, Enembe ditetapkan sebagai tersangka karena kasus suap dan gratifikasi terkait pembangunan infastruktur di Papua. Ia diduga menerima aliran dana sebesar Rp10 miliar yang diterimanya dari tersangka RL atau Rijatono Lakka.
RL merupakan direktur PT Tabi Bangun Papua sebuah perusahaan kontraktor asal Papua. Uang tersebut diduga merupakan pemberian dari RL kepada Enembe. Agar perusahaan RL terpilih menjadi pemegang jalannya proyek infastruktur.
KPK juga telah memblokir rekening milik Enembe dengan total nilai sebesar Rp76,2 miliar.
Sementara itu, tersangka RL sebagai pemberi suap telah melanggar pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedang Enembe selaku penerima suap dikenakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.