Histori

Likuan Kisah Pangeran Antasari, Bela Martabat Kesultanan di Perang Banjar

Pangeran Antasari tak berbaur dengan lingkungan Istana Martapura. Meski begitu, dia tetap pasang badan kala Belanda mencampuri urusan internal Kesultanan Banjar

Featured-Image
Ilustrasi Pangeran Antasari. Foto: Historia.

bakabar.com, JAKARTA - Namanya terpampang di plang jalan berbagai daerah, di antaranya kawasan elite Jakarta serta jantung kota Banjarmasin. Dialah Pangeran Antasari, pejuang asal Tanah Banjar yang pantang menyerah melawan penjajah.

Penamaan jalan berdasarkan identitasnya itu merupakan salah satu penghargaan atas perjuangan sang Pangeran. Dia adalah 'biang keladi' di balik Perang Banjar, pertempuran yang pecah demi menjaga martabat Kesultanan Banjar.

Pangeran Antasari merupakan keturunan Kesultanan Banjar, tepatnya lahir dari pasangan Pangeran Masohut dan Gusti Khadijah. Dia pun adalah sepupu Sultan Hidayatullah Khalilullah, sang penerus kerajaan yang dihendaki Sultan Adam.

Darah biru mengalir dalam dirinya, namun Pangeran Antasari tak berbaur dengan lingkungan Istana Martapura. Meski begitu, dirinya tetap pasang badan kala Belanda mencampuri urusan internal Kesultanan Banjar.

Baca Juga: Menelusuri Teladan Pangeran Antasari, Pewaris Kesultanan Banjar yang Terlupakan

Membela Martabat Kesultanan meski Sosoknya Terlupakan

Ilustrasi Perang Banjar yang pernah terjadi di Indonesia. Foto: J.P. de Veer via Wikimedia Commons.
Ilustrasi Perang Banjar yang pernah terjadi di Indonesia. Foto: J.P. de Veer via Wikimedia Commons.

Peristiwa berdarah yang pecah sedari 1859 itu bermula ketika Kesultanan Banjar kehilangan pemimpinnya, Sultan Adam. Sebelum wafat pada 1857, sang Sultan yang pernah melakukan hubungan diplomatik dengan Belanda itu meninggalkan sebuah wasiat.

Isinya, dia menghendaki Sultan Hidayatullah untuk meneruskan takhta kerajaan. Namun, keinginan tersebut tidak berjalan mulus. Belanda yang merasa ‘dekat’ dengan Kesultanan Banjar malah mencampuri urusan penerus.

Belanda ingin Tamdjid Illah menjadi penerus, lantas merealisasikannya dengan mengangkat pilihannya itu sebagai pemimpin bergelar Sultan Tamjidillah. Pengangkatan sepihak itu menimbulkan pertentangan, sebab berlawanan dengan norma di Istana Martapura dan wasiat Sultan Adam.

Tak terima dengan itu, rakyat Banjar mengadakan perlawanan di bawah pimpinan Sultan Hidayatullah, si pewaris sah Kesultanan Banjar. Sayang, sang Sultan ditangkap Belanda kemudian diasingkan ke Cianjur.

Mendengar kabar demikian, Pangeran Antasari yang hidup jauh dari lingkungan Istana Martapura tak tinggal diam. Dia mengambil alih pasukan, kemudian naik tahta menjadi pemimpin dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.

Di bawah kepemimpinan Pangeran Antasari, perlawanan Kesultanan Banjar berlanjut menjadi perang, yang dikenal Perang Banjar. Pertempuran ini dimulai dari serangan terhadap tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada 25 April 1859.

Serangan bertubi-tubi dari pasukan Pangeran Antasari terus menghujani pos-pos Belanda. Tak tanggung-tanggung, serangan itu tersebar di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, dan Tabalong. 

Merespons serangan ini, Belanda mengerahkan pasukan bantuan dari Batavia, yang dilengkapi dengan persenjataan modern. Serangan balasan dari Belanda ini membuat pasukan Pangeran Antasari semakin terdesak, hingga wilayah Muara Teweh.

Belanda pun melakukan berbagai upaya untuk mengalahkan Pangeran Antasari. Namun, hasilnya nihil; pasukan sang Pangeran tetap bertahan meski sempat berkali-kali terdesak. 

Ketangguhan ini tak terlepas dari kepiawaian Pangeran Antasari dalam menerapkan taktik bertahan, dan selalu menjalankan strategi gerilya. Sayangnya, perjuangan sang pemimpin harus terhenti pada 11 Oktober 1862.

Sebabnya, sang Pangeran berpulang ke pangkuan Tuhan karena terserang penyakit paru-paru dan cacar. Sampai akhir hayatnya pun, Belanda tak mampu menaklukkan Pangeran Antasari. 

Editor


Komentar
Banner
Banner