Tokoh Inspiratif

Menelusuri Teladan Pangeran Antasari, Pewaris Kesultanan Banjar yang Terlupakan

Masyarakat, lebih-lebih penguasa Banjar, tak menyangka peristiwa berdarah itu diotaki seorang rakyat jelata yang nihil mereka kenali. Dialah Pangeran Antasari

Featured-Image
Pangeran Antasari. Foto: Gontor.news.

bakabar.com, JAKARTA - Haram manyarah waja sampai kaputing. Demikianlah Pangeran Antasari, pahlawan asal Tanah Banjar, berpegang teguh pada spirit pantang menyerah kala menghadapi penjajah.

Sekira April 1859, ratusan laskar Banjar bergerak menembus Benteng Pengaron. Tembakan bertubi-tubi dilancarkan. Orang Belanda yang tak tahu menahu soal serangan itu pun dibuat tidak berkutik.

Serangan serupa juga melanda pusat kekuatan Belanda di Banyu Irang, Bangkal, Gunung Jabuk, Marabahan, juga Pulau Petak dan Telo. Inilah yang menandai pecahnya genderang Perang Banjar.

Masyarakat, lebih-lebih penguasa Banjar, tak menyangka peristiwa berdarah itu diotaki seorang rakyat jelata yang nihil mereka kenali. Dialah Pangeran Antasari, sosok yang saban hari hanya bekerja membanting tulang demi menafkahi keluarganya.

Pewaris Kesultanan yang Terlupakan

Sebelum Perang Banjar berkecamuk, Pangeran Antasari hanyalah seorang pemilik tanah yang mencakup wilayah Muara Mangkauk sampai Wilah, dekat Rantau. Tanahnya itu menghasilkan keuntungan yang tak seberapa: cuma sekira f 400 dalam setahun.

Padahal, Pangeran Antasari sejatinya merupakan keturunan Kesultanan Banjar dari Sultan Tachmidullah. Lebih tepatnya, dia lahir dari pasangan Pangeran Masohot dan Gusti Hadijah pada 1797 di Banjarmasin.

Sayang, Pangeran Antasari kehilangan hak sebagai pewaris kesultanan usai Sultan Kuning, sebutan lain Sultan Tachmidullah, kehilangan takhta akibat konflik internal. Mau tak mau, dia harus hidup di tengah rakyat jelata.

Idwar Saleh dalam Pangeran Antasari (1993) menyebut sang Pangeran tak memiliki kemampuan apa pun yang membuatnya bisa hidup seperti penerus kesultanan lain. Kekayaannya pun tak cukup menghidupi dirinya sebagai pewaris kerajaan.

Pangeran Antasari, sambung Idwar, juga tidak menonjolkan sifat-sifat dinamis yang dibalut pembawaan bernuansa kepemimpinan. Sebab itulah, dia terlupakan dari lingkungan Istana Martapura.

Perang Sabil Melawan Orang Kafir

Meski tak menyandang atribut kesultanan, rasa cinta mendalam terhadap tanah kelahirannya membuat Pangeran Antasari tak kuasa melihat campur tangan Belanda. Dinilainya, itu sudah menodai tradisi dan norma agama masyarakat Banjar.

Ditambah lagi, dirinya prihatin atas nasib dan penderitaan rakyat akibat kesewenang-wenangan Belanda yang menguasai kekayaan alam Tanah Banjar. Ya, seperti halnya sekarang, Banjar di kala itu memiliki potensi batu bara. 

Pertambangan milik Hindia Belanda pun berkuasa. Tak terima dengan itu, Pangeran Antasari segera menghimpun sekitar 3.000 pasukan dari rakyat Benua Ampat dan Benua Lima. Tujuannya, tentu untuk menduduki tambang di Pengaron dan Banyu Irang.

Barangkali bukan hal mudah bagi seorang rakyat biasa untuk menghimpun kekuatan demikian. Guna meyakinkan para laskar, Pangeran Antasari menyebut gerakan itu sebagai ‘perang sabil melawan orang kafir’, mengingat nuansa Islam memang begitu kental di Banjar.

Perang pun benar-benar pecah. Selama itu, Pangeran Antasari memimpin pasukan di daerah Barito, Kapuas, dan Katingan. Meski usianya terbilang renta, kala itu berumur 50 tahun, sang Pangeran tak sedikit pun kehilangan energi.

Dia teramat piawai dalam mengatur strategi. Sosoknya pun dikenal memiliki ketajaman pikiran, kemampuan ahli siasat, keuletan, keberanian, kekerasan watak, ketegasan, dan kebijaksanaan dalam memimpin perang.

Pasukan Pangeran Antasari bahkan sukses membuat pemerintah kolonial keok berkali-kali. Sayang, di tengah-tengah perlawanannya, terjadi wabah cacar di Banjar. Pangeran Antasari dan pasukannya juga terjangkit wabah tersebut.

Hingga akhirnya, penyakit tersebut merenggut nyawa Pangeran Antasari. Dirinya wafat pada 11 Oktober 1862 dan dimakamkan di Taman Makam Perang Banjar, Banjarmasin Utara. 

Untuk mengenang dan memberikan penghargaan kepada sang Pangeran, Pemerintah Indonesia pun menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 27 Maret 1968.

Editor


Komentar
Banner
Banner