Nasional

Larangan Ekspor Batu Bara, Mati Lampu Mengancam!

apahabar.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi melarang ekspor batu bara mulai…

Featured-Image
Pemerintah harus menindak tegas perusahaan batu baru yang melanggar kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri khususnya untuk sektor ketenagalistrikan. Ilustrasi. Foto-ANTARA

bakabar.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi melarang ekspor batu bara mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Larangan ini sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK/03/MEM/B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.

Dalam aturan tersebut, larangan ekspor batu bara diberlakukan baik bagi pengusaha pertambangan batu bara yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga pemilik Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Kebijakan ini diambil pemerintah lantaran PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mengalami defisit batu bara yang dikhawatirkan dapat mengancam ketersediaan listrik bagi 10 juta pelanggan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan larangan ekspor sumber energi listrik ini diberlakukan sebab pengusaha batu bara banyak yang tak mematuhi aturan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO).

Ridwan pun mengungkapkan kebutuhan batu bara dalam negeri yang seyogyanya diberikan ke PLN hingga 5,1 juta metrik ton, hingga saat ini baru terpenuhi tidak sampai satu persennya.

“Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen,” kata Ridwan dikutip dari laman Kementerian ESDM, kutip CNNIndonesia.com.

Padahal, menurut Ridwan, pasokan batu bara yang seharusnya tersedia minimal untuk 20 hari operasi.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan larangan ekspor sumber energi listrik ini diberlakukan sebab pengusaha batu bara banyak yang tak mematuhi aturan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO).

Ridwan pun mengungkapkan kebutuhan batu bara dalam negeri yang seyogyanya diberikan ke PLN hingga 5,1 juta metrik ton, hingga saat ini baru terpenuhi tidak sampai satu persennya.

“Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen,” kata Ridwan dikutip dari laman Kementerian ESDM, Senin (3/1).

Padahal, menurut Ridwan, pasokan batu bara yang seharusnya tersedia minimal untuk 20 hari operasi.

Ternyata pro kontra kebijakan ini sudah terdengar hingga ke telinga kepala negara. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menegaskan akan mencabut izin usaha bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban dalam negerinya.

“Perusahaan yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya bisa dikenakan sanksi, bila perlu tidak hanya tak dapat izin ekspor, tapi cabut izin usahanya,” ujar Jokowi, Senin (3/1).

Ia pun meminta kepada PLN untuk mencari solusi terbaik dalam memenuhi kebutuhan batu bara dalam rangka menjaga pasokan untuk ketenagalistrikan dalam negeri.

Tindak Tegas

Pengamat Pertambangan dan Peneliti di Alpha Research Database Ferdy Hasiman mengatakan pemerintah memang harus mengambil sikap tegas terhadap perusahaan yang tak memenuhi kewajibannya untuk memasok batu bara dalam negeri. Pasalnya, ketidaktegasan pemerintah dinilai membuat PLN merugi.
“Saya teliti banyak sekali produsen batu bara nakal yang enggak mau pasok batu bara ke PLN saat harga batu bara global naik, banyak banget. Pemerintah selama ini sering banget dan gak tegas dengan pengusaha karena PLN berkali-kali mengalami defisit batu bara jadi impor dari Australia,” kata Ferdy kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/1).

Ia menilai sudah sejak lama pemerintah tidak pernah mampu menegur perusahaan batu bara untuk memenuhi kewajibannya lantaran pengusaha batu bara berkaitan erat dengan percaturan politik nasional.

“Berkali-kali pasokan batu bara PLN itu berkurang dan pemerintah tidak pernah menegur secara korporat, karena apa, produsen batu bara besar yang bertugas memasok DMO ke PLN itu adalah afiliasi dengan elite politik nasional,” katanya.

Ia mencontohkan beberapa perusahaan batu bara yang memiliki hubungan erat dengan sejumlah nama pejabat politik sebut saja Erick Thohir dan Boy Thohir dengan PT Adaro Energy Tbk, Aburizal Bakrie dengan PT Bumi Resources Tbk, hingga Luhut Binsar Panjaitan dengan PT Toba Bara Sejahtera Tbk, dan sebagainya.

Di lain sisi, Ferdy melihat perusahaan enggan memasok batu bara ke PLN sebab mereka telah memiliki kontrak kerja dengan pembeli (buyer) di luar negeri, setidaknya untuk 5 hingga 10 tahun mendatang.

“Di tengah pandemi kan kondisi turun terus, makanya ada kecenderungan mereka mengabaikan DMO dalam kerangka untuk mengakumulasi dana yang besar dari harga batu bara di tingkat global. Mereka juga abaikan (DMO) demi menjaga kemurnian kontrak dengan buyer,” ujarnya.

Melihat hal itu, ia meminta pemerintah untuk tidak manut kepada pengusaha pertambangan, sehingga dapat merugikan negara hingga masyarakat. “Pemerintah jangan ikut manut dong, harus punya aturan sendiri dan harus tegas Menteri ESDM-nya,” tegasnya.

Tak hanya itu, Ferdy turut mengkritik kebijakan pelarangan ekspor ini sebagai kekacauan pemerintah yang tidak sanggup memberikan formula yang tepat dalam mengatur DMO.

“Kalau DMO satu bulan itu kan menurut saya ya amburadulnya Menteri ESDM, dia enggak sanggup buat formula yang tepat dalam mengatur DMO dalam jangka waktu yang lebih panjang, kan enggak mungkin setiap bulan bikin kebijakan DMO,” ujarnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah segera merumuskan kebijakan lain seperti memberikan konsesi batu bara yang besar kepada PLN. Agar nantinya, PLN tak perlu lagi menunggu batu bara yang seharusnya diberikan kepada perusahaan negara, namun tak kunjung dipasok oleh pengusaha batu bara.

Pengamat Energi Mamit Setiawan mengatakan alasan dibalik enggannya perusahaan batu bara memenuhi kewajibannya lantaran harga jual batu bara untuk PLN jauh lebih murah dibandingkan harga yang dijual di pasar global.

“Pastinya karena memang harga batu bara cukup tinggi dibandingkan DMO yang sudah ada US$70 per metric ton, sementara di luar di atas US$150. Jadi ada selisih yang cukup signifikan antara harga DMO dengan di luar,” katanya.

Selain itu, perusahaan batu bara dinilai juga sudah memiliki kontrak dengan berbagai pihak seperti importir batu bara hingga pengusaha perkapalan pengangkut batu bara, sehingga sulit untuk memasok batu bara untuk listrik dalam negeri.

Rugikan Ekonomi

Di tengah kontroversi, Mamit mendukung pemerintah untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara sementara. Pasalnya, pemadaman listrik yang mengancam 10 juta pelanggan PLN dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian ekonomi hingga kerusuhan sosial.

Ia pun menilai kebijakan pelarangan ekspor batu bara yang dijadwalkan berjalan hingga satu bulan sudah ideal.

“Kalau misal lebih lama lagi saya kira akan timbulkan polemik di pengusaha batu bara. Satu bulan bisa jadi solusi kebutuhan batu bara bagi PLN dan pengusaha bisa ekspor (kembali) ketika pasokan bisa terpenuhi,” ujarnya.

Di lain sisi, ia melihat kebijakan pemerintah tersebut akan menguntungkan PLN. Dalam hal ini, layanan listrik kepada pelanggan tidak terganggu.

Mamit juga menilai masyarakat ikut diuntungkan atas kebijakan ini karena pemadaman listrik massal mungkin saja tidak terjadi lantaran sudah mulai terpenuhinya pasokan batu bara bagi PLN.

Sementara itu, pengusaha batu bara dan pengusaha transportasi angkutan batu bara dinilai menjadi pihak yang merugi lantaran terhentinya operasional setidaknya hingga 30 hari ke depan.

Mamit merekomendasikan agar pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait untuk segera berbenah diri agar pasokan batu bara dan listrik nasional tetap stabil di tengah harga batu bara global yang tinggi.

“Saya berikan catatan kepada PLN untuk berbenah dengan memperbaiki sistem kontrak dengan pemasok batu bara dan juga pembayarannya. Sebelum tanggal 31 Januari apabila sudah terpenuhi kebutuhan, PLN jadi bisa meninjau kembali keputusan agar bisa menjadi win-win solution antara pemerintah, PLN, dan pengusaha,” tutupnya.



Komentar
Banner
Banner