bakabar.com, BANJARMASIN - Peraturan Daerah (Perda) di Kota Banjarmasin terancam banyak berubah. Sebabnya dikarenakan terbit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
Satu contohnya, Perda ketertiban umum (Tibum) yang biasanya ditegakkan Satpol PP. Pelaksanaan kegiatan seperti razia aktivitas pasangan di luar nikah sepertinya kemungkinan besar tidak bisa lagi dilakukan.
Soalnya, Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) belakangan ini memberikan peringatan keras kepada Satpol PP.
Satpol PP diminta agar tidak lagi melakukan razia maupun penggerebekan kepada orang-orang yang berstatus bukan suami istri yang diduga melakukan perzinahan maupun kohabitasi.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumkam) Edward Omar Sharief Hiariej dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (12/12) lalu.
Menurutnya, itu dilakukan agar meminimalisir terjadinya tindak kriminalisasi terhadap masyarakat.
Dengan tegas disampaikannya, seluruh aparat hukum wajib menaati aturan yang tertulis di KUHP baru. Terlebih yang berkaitan dengan kejahatan kesusilaan.
Halaman selanjutnya...
Terkhusus Satpol PP, dia mewanti-wanti agar tidak lagi melakukan razia, sweeping dan sebagainya.
Boleh dilakukan, asal ada delik aduan.
Sementara, yang bisa mengadukan hanya orang tua, suami atau istri, dan anak kandung.
Pada bagian penjelasan KUHP baru juga ditegaskan bahwa peraturan daerah yang mengatur soal perzinahan dan kohabitasi tidak berlaku lagi.
Lalu, bagaimana penegakkan perda tentang ketertiban umum yang biasa dijalankan oleh Satpol PP di Kota Banjarmasin?
Kepala Satpol PP, Ahmad Muzaiyin bilang, pihaknya bersama Bagian Hukum Sekretaris Daerah Kota Banjarmasin masih melakukan pengkajian terkait aspek yang termuat dalam KUHP.
"Undang-undang itu baru efektif setelah tiga tahun setelah disahkan. Sehingga selama itu juga akan kita pelajari," ungkap Muzaiyin belum lama tadi.
"Supaya dalam kegiatan kami tidak menimbulkan polemik di masyarakat," sambungnya.
Dari hasil pengkajian sementara ini, Muzaiyin mengaku, memang di dalam KUHP baru ini terdapat aturan yang membatasi pergerakan Satpol PP dalam melaksanakan tugas.
Namun demikian, kata dia, selama KUHP tersebut belum diterapkan secara efektif, maka pihaknya akan tetap menjalankan penindakan seperti biasa dengan menjadikan perda yang ada sebagai dasar hukumnya.
"Seperti yang kita lakukan tadi, kita tetap menjaring wanita diduga PSK yang mangkal di jalan umum," ujarnya.
Senada, Kabag Hukum Setdako Banjarmasin, Jefrie Fransyah mengatakan, petugas Satpol PP saat ini masih tetap bisa menjalankan penindakan pelanggar perda seperti biasa.
Termasuk merazia aktivitas PSK baik itu di tepi jalan maupun di hotel-hotel dan penginapan.
"Karena undang-undang yang baru itu baru efektif diterapkan setelah tiga tahun, jadi selama itu juga belum ada batasan bagi petugas (Satpol PP) kita," ujarnya, Minggu (29/1) siang.
Kendati demikian, Jefrie mengakui bahwa bergantinya KUHP tersebut berdampak hampir keseluruhan perda yang ada di Banjarmasin.
Pasalnya, di KUHP baru tidak lagi termuat jenis hukuman kurungan bagi pelanggarnya.
"Dengan begitu, ketentuan pidana berupa hukuman kurungan di perda kita ini tidak bisa lagi dipakai. Jadi mau tidak mau kita harus menyesuaikannya," paparnya.
Namun demikian, kata Jefrie, akan sangat banyak perda yang berubah. Sehingga waktu tiga tahun sepertinya tidak akan cukup untuk merevisinya.
Karena itu Jefrie mengatakan, pihaknya belum lama tadi mengunjungi kantor Kemenkumham di Jakarta.
Tujuannya, untuk berkoordinasi dengan pihak Pemerintah Pusat mengenai permasalahan tersebut.
Sayang, upaya tersebut belum menemukan hasil.
"Saat kita bertanya, pihak Kemenkumham sendiri belum berani memberikan solusi langkah apa yang harus diambil," bebernya.
Alhasil, nasib seluruh Perda Banjarmasin yang memuat sanksi kurungan masih gantung. Apakah masih tetap mengikuti ketentuan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011, atau wajib mengikuti KUHP yang baru.
"Tapi mereka menjanjikan ada FGD dengan kepala daerah dengan pusat. Di situ nanti akan kita sampaikan permasalahan apa yang dihadapi daerah ketika ada KUHP yang baru ini," jelasnya.
Meski demikian, Jefri mengakui bahwa kemungkinan besar pihaknya memang harus mengubah perda, namun ia tetap berharap Pemerintah Pusat melek dengan kondisi yang terjadi di daerah.
"Kita sudah menawarkan solusi ke Kemenkumham. Jika pemerintah pusat membuat kebijakan bahwa aturan di daerah dimaknai sebagai ketentuan yang baru, maka hal ini tidak akan terlalu berdampak pada Perda kita," katanya.
"Tapi usulan kota belum mendapat respon dari Kemenkumham. Harapannya sih bisa diakomodir supaya beban di daerah tidak terlalu besar, dan kita tidak harus mengubah perda kita secara keseluruhan," pungkasnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPRD Banjarmasin, Deddy Sophian beberapa waktu lalu sempat mengungkapkan agar pemkot secepatnya menyikapi persoalan tersebut.
"Sinkronkan perda dengan regulasi dari Pemerintah Pusat," tekannya.
"Sebab saat regulasi di pusat berubah, maka perda pun juga harus diubah. Agar aturan-aturan di tempat kita ini seirama dengan aturan di atasnya seperti Undang-Undang atau Peraturan Menteri," tambahnya.
Di sisi lain, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengungkapkan, semestinya dalam setiap membuat aturan, Pemerintah Pusat juga harus melek dengan kondisi di daerah.
"Setiap daerah pasti memiliki kultur budaya yang berbeda-berbeda, dan ini harusnya jadi pertimbangan bagi Pemerintah Pusat," tandasnya.