apahabar, JAKARTA- Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jadi sirine pukul mundur demokrasi. Hal ini lantaran beberapa pasal bersifat multitafsir dan berpotensi untuk disalahgunakan.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yetriyani menjelaskan, KUHP harusnya bisa sejalan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
"DPR Harusnya memastikan KUHP agar sinkron dan harmonis dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan hak-hak korban atas pelindungan, penanganan dan pemulihan dipenuhi negara," tuturnya Kamis (8/12).
Ada tiga poin lain yang disoroti Komnas Perempuan dan dianggap bisa lebih diperhatikan oleh DPR dalam KUHP.
Baca Juga: Pengesahan RKUHP Dianggap Merugikan, Koalisi Masyarakat Sipil Sampaikan 7 Tuntutan
Mereka menyoroti pasal 432 dan 462 yang melakukan over criminalization, yang harusnya dihapuskan karena menempatkan ibu sebagai subjek pemberat hukuman pada tindak penelantaran anak dan pembunuhan bayi, dengan mengabaikan penelantaran oleh pihak laki-laki yang menyebabkan pihak perempuan tersebut takut bahwa kelahiran anak tersebut diketahui orang lain.
Selain itu, memberikan pemberatan hukuman atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan atas dasar kebencian atas dasar apa pun, termasuk karena agama, ras, etnis, dan pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan atau yang dikenali dengan istilah femisida.
Terakhir, memastikan pencegahan atau tidak terjadi penghukuman terhadap perempuan korban dalam norma pemidanaan yang berkaitan dengan hak kebebasan masyarakat sipil serta kekerasan berbasis gender lainnya.