bakabar.com, JAKARTA – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal meengungkapkan alasan buruh menolak kenaikkan Upah Minimun Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang hanya 5,6 persen.
“Partai buruh dan KSPI menyatakan menolak kenaikkan ump 5,6 persen yang ditetapkan Penjabat (Pj) Gubernur DKI, Heru Budi Hartono,” ujar Said kepada bakabar.com, Minggu (4/12).
Tidak Sesuai Inflasi
Alasan penolakan yang pertama adalah karena penetapan upah sebesar 5,6 persen masih di bawah angka inflasi tahun 2022.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) inflasi Indonesia pada 2022 diprediksi dapat menyentuh angka 6,5 persen.
Tapi, kenaikkan UMP yang ditetapkan oleh Pj Gubernur DKI tidak sesuai dengan data inflasi tersebut.
“Imbas kenaikkan inflasi itu, harga kebutuhan pokok ikut meroket. Akibatnya buruh harus tombok sisanya untuk memenuhi kebutuhan,” ucap Said.
Selain itu, kenaikkan UMP yang ditetapkan Pj Gubernur, hanya berdasarkan data inflasi tahun ke tahun/year on year.
Seharusnya, penetapan kenaikkan UMP dilihat dari data inflasi pada periode Januari-November 2022, sehingga bisa mencukupi kebutuhan buruh.
“Di sisi lain, pemerintah sudah menetapkan aturan Permenaker No. 18 tahun 2022, yang membolehkan kenaikkan sebesar 10 persen,” ungkap Said.
Pj Gubernur Tidak Sensitif
Selain karena kenaikkan tidak sesuai dengan data inflasi, alasan lainnya adalah Pj Gubernur DKI yang tidak sensitif dengan kebutuhan rakyat kecil.
“Buruh di Jakarta, sudah tiga periode tidak menerima kenaikkan UMP, tapi ketika ada kenaikkan, jumlahnya tidak sesuai dengan kebutuhan,” kata Said.
Nilai kenaikkan yang kecil tersebut menunjukkan bahwa Pj Gubernur DKI Jakarta saat ini, sangat tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat kecil, terutama buruh.
“Seharusnya pemimpin Jakarta jangan berpihak hanya kepada pengusaha, tapi harus kepada pekerja juga,” papar Said.
Dalam proses penetapan UMP, perwakilan buruh dalam dewan pengupahan, sudah mengajukan kenaikkan sebesar 10 persen.
Tetapi, pemerintah menolak pengajuan tersebut dan menetapkan kenaikkan sebesar 5,6 persen.
“Sehingga hasilnya jadi percuma, hutang juga buruhnya, ini tiga tahun tidak naik-naik adalah karena pemimpin Jakarta yang tidak sensitif,” tutur Said.
Kenaikan Terlalu Kecil
Akibat dari tidak sensitifnya Pj Gubernur DKI Jakarta terhadap rakyat kecil, Kenaikkan UMP termasuk kecil jika dibandingkan kenaikkan di beberapa daerah.
“Alasan ketiga adalah kenaikkan UMP Jakarta yanga hanya setengah dari kenaikkan upah di Subang, Majalengka dan Bogor,” kata Said.
Kenaikan UMP di daerah Subang, Majalengka dan Bogor sebesar 10 persen, sesuai batas yang ditetapkan dalam aturan.
Tapi, DKI Jakarta yang masih menjadi Ibukota negara, kenaikkannya hanya sebesar 5,6 persen.
“Seharusnya kenaikkan UMP bisa sama dengan ketiga daerah tersebut,” ucap Said.
Buruh berharap Pj Gubernur DKI Jakarta bisa merevisi kembali angka kenaikkan UMP yang sudah diterapkan, supaya sesuai dengan kebutuhan pekerja.
“Jika tidak akan kami lakukan aksi terus menerus, dan itu Penjabat Gubernur DKI harus sensitif kepada buruh,” ujar Said.