bakabar.com, BALIKPAPAN – Akademisi Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah mengkritik pernyataan Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko terkait pernyataan hijab manusia gurun.
“Pertama, pernyataan itu menggambarkan kualitas cara berpikirnya. Sama sekali tidak mencerminkan kualitas seorang terpelajar,” ujar dosen fakultas Hukum yang akrab disapa Castro ini, Minggu (1/5).
Mereka yang kerap membangun argumentasi berdasar sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), kata Castro, hanyalah mereka yang berpikir dangkal.
Menurutnya, mencitrakan peradaban berdasar perbedaan biologis ras manusia, jelas merupakan tindakan rasis. Ia pun menyayangkan pernyataan tersebut justru keluar dari mulut seorang guru besar sekaligus rektor.
“Yang, notabene pihak yang seharusnya berdiri tegak menentang rasisme. Kita selalu menghargai perbedaan pendapat, tetapi tidak ada ruang bagi mereka yang rasis,” ujar aktivis pusat studi antikorupsi Unmul ini.
Pernyataan rasis, sambungnya, adalah tanda mereka yang terbelakang, yang justru tidak menghargai peradaban.
Kedua, Castro turut menyayangkan pernyataan seolah-olah mengasosiasikan mahasiswa yang suka demo sebagai mahasiswa ber-IP [Indeks Prestasi] rendah, bermasalah, dan bermasa depan suram.
“Ini jelas pernyataan yang tidak pantas dan tendensius, yang terkesan mengerdilkan mahasiswa yang suka demo sebagai manusia rendahan dalam derajat akademik,” tuturnya via keterangan tertulis.
Pernyataan tersebut, menurutnya, jelas buta dan tuli terhadap makna kebebasan berpendapat.
“Padahal dari demonstrasilah, sikap kritis mahasiswa ditempa. Dididik menjadi manusia yang memegang teguh prinsip, buka menjadi manusia pembebek yang hanya pandai menjilat dan mengejar jabatan,” jelasnya.
Terancam Dicopot
Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengancam akan mencopot Budi Santosa.
Pencopotan dimaksud akan dilakukan terhadap Budi dari posisinya di Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Pencopotan dilakukan jika ia terbukti melanggar kode etik.
“Sebagai reviewer akan dilakukan evaluasi, kalau betul melanggar kode etik tentu akan menerima sanksi dan tidak lagi diberi kepercayaan untuk me-review,” kata Plt. Direktur Jenderal (Dirjen) Diktiristek Kemendikbudristek Nizam, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Minggu malam.
Budi, kata Nizam, terikat kode etik sebagai reviewer di LPDP. Menurutnya, Budi melanggar norma sebagai reviewer LPDP dan akademisi jika pernyataan itu benar.
Namun terkait jabatan Budi di perguruan tinggi, Nizam menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus ke ITK.
“Karena yang bersangkutan adalah dosen, maka yang pertama harus dilakukan adalah perguruan tinggi yang bersangkutan membentuk tim etik/dewan kehormatan untuk memeriksa kasusnya,” ujarnya.
Sebelumnya, Rektor ITK Budi Santosa mengunggah pesan bernada rasial melalui media sosial pribadinya, sesuai proses wawancara LPDP.
“Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi,” tulis Budi dalam akun Facebook-nya.
Sementara ini, ITK baru angkat bicara terkait pernyataan kontroversi Budi yang dinilai mereka adalah pendapat pribadi.
"Dengan ini kami informasikan bahwa, tulisan Prof Budi Santosa Purwakartiko tersebut merupakan tulisan pribadi, dan tidak ada hubungannya dengan jabatan beliau sebagai rektor ITK," jelas ITK.
Klarifikasi Budi
Dituding rasis, Prof Budi angkat bicara. Dia menegaskan tidak berniat merendahkan wanita berhijab.
"Itu adalah opini pribadi saya ya, tidak sebagai rektor. Maksud saya tidak ingin merendahkan orang yang pakai jilbab atau diskriminasi tidak ada maksud itu, saya hanya bercerita saja kebetulan kok ke-12-nya (mahasiswi) itu enggak pakai kerudung," jelas Prof Budi dilansir Detik.com.
Budi lantas menjelaskan awal mula celotehan yang membuat jagat maya heboh.
Saat itu ia melakukan wawancara calon peserta student mobility. Menurut Budi, respons atas statusnya tersebut merupakan kesalahpahaman.
"Mereka itu sangat salah paham. Saya menggunakan (kalimat) yang jadi masalah ‘kan, mereka tidak ada yang pakai kerudung ala manusia gurun kan ya? Jadi maksud saya tidak seperti orang-orang yang pakai tutup-tutup, kaya orang Timur Tengah yang banyak, pasir, angin, panas gitu ya," kata Budi.
Selain itu, menurut Prof Budi Santoso, statusnya yang menjadi heboh adalah konsekuensi bahasa yang ia tuliskan.
Tulisan itu dianggap Budi dijadikan alat beberapa oknum memvonis jika tulisannya itu menjatuhkan wanita yang mengenakan kerudung. Namun Budi tak menjelaskan siapa oknum tersebut.
"Itu konsekuensi dari bahasa tulis ya. Mungkin persepsinya akan berbeda-beda ya. Tapi banyak yang memotong, maksudnya men-screenshot kemudian dikasih pengantar seakan-akan saya tidak adil, diskriminatif. Itu yang menurut saya, saya sayangkan. Dan orang tidak membaca tulisan aslinya."
Sosok Budi, Rektor Kampus Ternama Kaltim yang Viral Gegara SARA