bakabar.com, JAKARTA – Menjelang hari 'keramat' bangsa Indonesia, 30 September, film Penumpasan Pengkhiatan G30S-PKI kerap terpampang kembali. Padahal, karya garapan Arifin C. Noer ini tak lagi mengudara usai Orde Baru binasa.
Menilik fakta sejarah, sejak tahun 1998 pada masa pemeritahan Presiden Habibie, film tersebut sudah tidak ditayangkan di stasiun TV manapun.
Hal ini diperlugas oleh pernyataan Menteri Penerangan RI saat itu Letnan Jenderal TNI (Purn) M. Yunus Yosfiah yang mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh seperti film pengkhianatan G 30S PKI, Janur Kuning dan Serangan Fajar, tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
Mengingat semasa Presiden Soeharto berkuasa, pemutaran film keluaran tahun 1984 ini adalah hal lumrah. Penumpasan Pengkhiatan G30S-PKI bahkan diputar saban tahun dalam rangka 'memperingati' kematian tujuh Pahlawan Revolusi.
Propaganda 'Pesanan' Orba
Meski membawa embel-embel nasionalisme, Doktor Kajian Asia Tenggara Bidang Film, Budi Irawanto, menilai Penumpasan Pengkhiatan G30S-PKI sebagai bentuk propaganda. Film ini bahkan boleh dibilang sukses menanamkan kebencian pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Film itu memang tidak menggunakan berbagi sumber dalam pembuatannya, sengaja untuk memojokkan lawan politik penguasa dan itu (bersifat) politis," bebernya, seperti dilansir dari merdeka.com, Sabtu (29/9/2012).
Hal serupa juga dinyatakan John C. Simon melalui jurnal berjudul Memori Trauma dalam Film G30S/PKI: Sebuah Interpretasi Teologis. Dia menilai film itu tak mengandung kebenaran otentik lantaran tidak berlandaskan kekuatan literasi dengan mengacu pada referensi dan literasi yang sahih secara akademis.
Sutradara sekaligus penulis naskah, Arifin C. Noer, secara tak langsung mengakui teori Simon yang demikian. Sang istri memberbekan suaminya itu sempat berkeliling mencari narasumber dari pihak PKI untuk memperkaya referensi, namun hasilnya nihil.
Eros Djarot dkk dalam buku Siapa Sebenarnya Soeharto menganalogikan film Penumpasan Pengkhiatan G30S-PKI sebagai pesanan dari 'pengarah' yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Kolonel Latief dan Aidit bertindak selaku 'sutradara film' yang sengaja mengambil kudeta sebagai pilihan cerita, sementara sang 'pengarah sebenarnya' adalah Soeharto dan konco-konconya.
Framing Soeharto sebagai 'Penyelamat' Bangsa
Eros Djarot dkk juga menilai film Penumpasan Pengkhiatan G30S-PKI luar biasa berhasil mengultuskan Soeharto sebagai 'penyelamat' bangsa. Hal serupa juga disampaikan Budi Irawanto dalam jurnal Film Propaganda: Ikonografi Kekuasaan.
Menurutnya, film tersebut bekerja melalui representasi yang bersifat sepihak - publik dipaksa untuk mengamini impresi politik Soeharto sebagai seorang 'bapak', satu-satunya sosok yang bisa mengatasi Gerakan 30 September.
Persis seperti adegan terakhir dalam film, di mana membingkai Soeharto sebagai pribadi nan luhur lagi mulia. Eksistensinya seolah menandakan prahara Gerakan 30 September berakhir berkat dirinya.
"[…] Apabila benar ada oknum-oknum yang terlibat pembunuhan kejam dari jenderal kita yang tidak berdosa ini, saya mengharapkan agar patriot Angkatan Udara membersihkan anggota yang terlibat. Saya sangat berterima kasih bahwa akhirnya Tuhan memberikan petunjuk yang jelas pada kita sekalian, setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan yang tidak baik, pasti terbongkar," begitu dialog bernuansa patriotiknya.
Adapun Nurudin dalam buku Komunikasi Propaganda menyebut dialog yang demikian sebagai teknik glittering generalities. Tujuannya jelas, untuk menyematkan persepsi baik pada Soeharto selaku 'Bapak Penyelamat Bangsa.'
Penyesalan sang Sutradara
Terlepas dari kontroversi soal kepentingan politis yang melecehkan sejarah, film Penumpasan Pengkhianatan G30S-PKI menuai prestasi gemilang. Pada tahun perilisannya, film ini sukses menembus angka 699.282 penonton - menjadi rekor terbesar kala itu, bahkan bertahan lebih dari satu dasawarsa ke depan.
Tak cuma itu, Penumpasan Pengkhianatan G30S-PKI juga sukses meraih Piala Antemas - penghargaan khusus di ajang Festival Film Indonesia (FFI) - dalam kategori Film Unggulan Terlaris periode 1984-1985.
Kendati sukses meraih prestasi cemerlang, sang sutradara mengaku kecewa dengan hasil akhir film garapannya. Kepada Ajip Rosidi, sebagaimana dikutip dari buku Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002, Arif mengatakan sempat ingin mundur dari dunia perfilman.
Bukan tanpa alasan, Arifin merasa terbebani lantaran mesti bertarung mati-matian dengan idealismenya kala menggarap film sejarah nan kompleks itu. Ditambah lagi, waktu yang diberikan sangat singkat, yakni hanya dua tahun.
Kondisi makin sulit dengan tekanan dari 'atasan.' Arifin mengaku kreativitasnya dipangkas, bahkan dipaksa tunduk pada 'sutradara' politik yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam buku Siapa Sebenarnya Soeharto karya Eros Djarot dkk.
Separuh abad sudah berlalu sejak kejadian naas G30S-PKI, sayang, hingga kini belum ada titik terang yang menyatakan benar tidaknya peristiwa dalam film legendaris tersebut. Kalau ditanya mengapa, jawabnya: barangkali para pelaku masih aktif dalam gelanggang kekuasaan di negeri ini.