bakabar.com, JAKARTA – Konflik Rusia–Ukrainadiprediksi berakhir di meja perundingan. Sejarah telah membuktikan bagaimana diplomat Uni Soviet mampu menghindarkan konflik perang nuklir yang nyaris terjadi pada 1962.
“Ada satu moto yang dipegang teguh para diplomat Rusia-Ukraina hingga saat ini, yaitu ‘lebih baik 10 tahun berunding daripada 1 hari berperang’. Slogan ini jadi kurikulum wajib calon diplomat,” kata Dosen Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Budaya Universitas PadjadjaranSupian dikutip dari CNNIndonesia, Minggu (27/12).
Moto tersebut lahir dari Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Gromyko. Ia berhasil menjadi “pahlawan” yang mampu menghindarkan konflik perang nuklir di Kuba melalui meja perundingan.
Menyelisik profil Andrei, sang pahlawan Uni Soviet, ternyata menarik. Supian menemukan, Andrei Gromyko berdarah Ukraina.
Hal ini terlihat dari nama belakangnya yang merupakan marga Ukraina. Meski berasal dari Ukraina, Andrei kemudian besar di Moskow sampai ia wafat.
Dari sejarah ini Supian menemukan bahwa Rusia dan Ukraina selayaknya saudara kandung yang tidak bisa dipisahkan. Konflik terjadi akibat soal politik.
“Saya yakin konflik ini akan berakhir di meja perundingan,” ujarnya.
Lebih jauh Supian mengatakan, serangan militer Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari lalu merupakan konflik antar saudara kandung. Hal ini disebabkan, kedua negara berasal satu rumpun budaya yang sama, yaitu Slavia Timur.
“Ini sangat disayangkan terjadi konflik kakak-adik. Hal ini bisa diredamkan dengan budayanya sendiri,” cetusnya.
Supian yang pernah tinggal selama 7 tahun di Kota Moskow dan Voronezh, perbatasan Rusia-Ukraina menuturkan, Rusia dan Ukraina layaknya seperti Indonesia dan Malaysia. Karena itu, secara karakter masyarakat dan bahasa, Rusia-Ukraina tidak jauh berbeda.
Dari pengalamannya ia menemukan banyak warga negara Ukraina yang sehari-hari sekolah ataupun bekerja di Rusia. Dua di antaranya berasal dari Provinsi Donestk dan Luhansk, wilayah di Ukraina yang akhirnya diakui kedaulatannya oleh Rusia. Setiap akhir pekan, mereka mudik ke Ukraina.
Kendati serumpun, budaya ternyata menjadi akar pemicu perang Rusia-Ukraina. Supian menjelaskan, larangan penggunaan bahasa Rusia di sekolah Donestk dan Luhansk memicu lahirnya konflik tersebut. Padahal, bahasa Rusia menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan di dua provinsi tersebut.
Faktor ekonomi memperburuk masalah tersebut. Sebagai negara bekas pecahan Uni Soviet, tingkat ekonomi Ukraina ternyata tidak semaju Rusia yang notabene memegang saham terbesar dari aset Uni Soviet.
Karena itu, Ukraina membuka peluang investasi yang besar dari luar agar bisa mengatasi ketertinggalan di bidang ekonomi.
“Sedikit demi sedikit kemudian semua ingin seperti Amerika, kemudian masuk juga invasi Eropa Barat ke Ukraina,” kata Supian.
Alumnus Pushkin State RL Institute Rusia ini mengatakan, secara budaya, rumpun Slavia Timur sulit berbaur dengan rumpun Indo-Jerman Barat. Ada banyak perbedaan yang tampak dari budaya Slavia dengan budaya negara-negara Barat. Hal ini kemudian menuai kritik keras dari Rusia.
“Jadi konflik ini murni lebih ke politik. Akar masyarakat Rusia dan Ukraina itu sangat kuat, dan mereka sama-sama menganut Ortodoks,” ujar Supian.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyatakan bersedia menjalin dialog bersama Rusia dengan catatan negosiasi dilakukan di lokasi pilihannya.Zelensky menolak melakukan negosiasi di Belarus.
Zelensky menolak negosiasi di Belarus karena negara tersebut menjadi landasan peluncuran invasi Moskow ke Ukraina. Ia kemudian mengajukan empat lokasi beberapa di antaranya Hungaria dan Turki.
“Warsaw, Bratislava, Budapest, Istanbul, Baku. Kami mengajukan tempat-tempat itu, dan kota lain di negara yang mana rudal tak bisa diluncurkan,” kata Zelensky dikutip AFP pada Minggu (27/2).