bakabar.com, JAKARTA – Harga batu bara secara mingguan ngedrop sampai 20 persen.
Mengutip CNBC Indonesia, kemarin, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat US$ 191/ton. Melesat 4.97% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun secara mingguan, harga batu bara ambrol 20,86%. Ini adalah koreksi mingguan terparah setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Aksi ambil untung (profit taking) memang akan selalu membayangi harga batu bara. Walau minggu ini ‘terluka dalam’, tetapi harga batu bara masih membukukan kenaikan 4,51% dalam sebulan terakhir.
Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga batu bara meroket 133,64%. Rasanya tidak ada komoditas yang harga naik setinggi batu bara.
Oleh karena itu, pasti akan datang saatnya investor bernafsu untuk mencairkan keuntungan yang memang sudah begitu tinggi. Aksi jual massal (sell-off) ini yang membuat harga batu bara terkoreksi.
Selain itu, kabar dari China juga menjadi sentimen negatif bagi batu bara. Pemerintah China tengah mempertimbangkan untuk melakukan intervensi terhadap harga komoditas yang naik tajam, termasuk batu bara.
Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional China pada Selasa lalu mengungkapkan tengah mempelajari langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengintervensi harga batu bara. Mereka akan melakukan segala upaya agar harga kembali ke kisaran yang masuk akal.
Batu bara adalah komoditas strategis bagi China, karena sekitar 60% pembangkit listrik di sana menggunakan tenaga batu bara. Tingginya harga batu bara membuat perusahaan listrik kelimpungan karena di sisi lain permintaan juga sangat tinggi. So, wajar pemerintah China punya kepentingan untuk menekan harga batu bara.
Akan tetapi, sejumlah pihak tidak yakin upaya pemerintah China untuk mengontrol harga batu bara akan membuahkan hasil. Pasalnya, kenaikan harga batu bara adalah masalah dunia, bukan di China saja.
“Intervensi pemerintah bagai sedikit guyuran air ke api besar yang membara. Inti dari masalah ini adalah keterbatasan pasokan energy karena bumi belahan utara (northern hemisphere) akan segera memasuki musim dingin. Butuh waktu berbulan-bulan agar keseimbangan antara pasokan dan permintaan kembali seimbang,” terang Frederic Neumann, Co-Head Asian Economic Research di HSBC, sebagaimana diwartakan Reuters.