bakabar.com, JAKARTA – "Hai, orang-orang yang baik, saya di sini segera mati. Tapi saya tegaskan bahwa menjadi ratu sebenarnya bukan keinginan saya. Di hadapan Tuhan, saya tegaskan saya tak bersalah."
Demikianlah pidato terakhir Lady Jane Grey. Selepas menyampaikan 'kata-kata perpisahan' pada rakyat Inggris, dia dituntun menuju lokasi eksekusi dengan mata tertutup. "Saya harap kamu melakukannya dengan cepat," pesan sang ratu kepada algojo.
Tak berselang lama, Jane tiba di Tower of London, yang merupakan titik eksekusi. Pikirannya makin kalut, jantungnya berpacu kencang, seraya mempertanyakan, "Apa yang harus saya lakukan? Di mana saya sekarang?" Nihil - tak seorang pun menjawab sang ratu.
Sadar bahwa kepanikannya tidak meringankan apa pun, sang ratu berdoa, "Ya Tuhan, dalam kekuasaan-Mu, aku serahkan jiwaku." Kala itu, Senin, 12 Februari 1554, menjadi hari terakhir bagi Lady Jane Grey untuk hidup di dunia.
Besar dengan Ambisi Orang Tua
Lady Jane Grey lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya merupakan Marquess of Dorset, Henry Grey, sedangkan ibunya adalah cicit dari Raja Henry VII, Lady Frances Brandon. Sebab itulah, Jane kecil dididik untuk menjadi yang terbaik.
Orang tua yang berambisi tinggi memberikan pendidikan terbaik untuk Jane. Dengan harapan, dia bisa menjadi pendamping yang ideal bagi putra dari keluarga terpandang pula. Tak hanya itu, dari segi spiritual pun, Jane tumbuh menjadi penganut Protestan yang taat.
Ketika Jane menginjak usia 14 tahun, tepatnya pada 1551, dia diboyong ayahnya yang telah menjadi Duke of Suffolk ke istana. Di sana, dia dijodohkan dengan keturunan dari keluarga yang mempunyai posisi tinggi.
Akhirnya, menikahlah dia dengan Lord Guildford Dudley - putra dari Duke of Northumberland yang merupakan wali Raja Edward VI.
Bidak Politik Ayah Mertua
Nasib malang yang terukir di garis tangan Lady Jane ternyata bermula dari ambisi sang ayah mertua. Adalah John Dudley, sosok yang menjadikan wanita kelahiran Oktober 1537 tersebut sebagai bidak politiknya.
Dudley bertekad menjadikan Jane penerus takhta Kerajaan Inggris, menggantikan Raja Edward VI yang meninggal karena sakit. Dengan segala upaya, dia berusaha menghentikan saudara tiri mendiang raja, Mary Tudor, untuk memegang kekuasaan tertinggi.
Salah satunya, dengan menjadikan kepercayaan yang dianut Mary Tudor sebagai penghalang. Dudley membuat Mary dinyatakan tidak sah menjadi Raja Inggris atas dasar iman Katolik yang dia yakini.
Alhasil, Jane pun dinyatakan resmi menjadi Raja Inggris secara de facto per 10 Juli 1553. Kabar mengenai dirinya bakal menjadi raja telah diumumkan secara terbatas empat hari sebelumnya, tepat setelah Raja Edward VI wafat.
Mendengar gelar barunya itu, Jane langsung pingsan. Dia sama sekali tak ingin menjadi pemimpin kerajaan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Jane pun hanya bisa berkata, "apa boleh buat) jika apa yang telah diberikan kepada saya adalah hak saya.”
Ratu 9 Hari yang Dieksekusi Mati
Namun, jabatan itu hanya bertahan selama sembilan hari. Tepatnya pada 19 Juli 1553, Lady Jane digulingkan dari takhta raja. Hal ini sesuai dengan keputusan dewan kerajaan, di mana menyatakan Mary Tudor lebih layak menjadi ratu lantaran memiliki garis keturunan langsung.
Masa jabatan singkat inilah yang membuat Lady Jane mendapat julukan Nine Days Queen alias Ratu Sembilan Hari. Usai resmi diberhentikan dari posisinya, Jane dipenjara di Menara London.
Pada 13 November 1553, Jane divonis mati karena dianggap berkhianat. Namun, dengan mempertimbangkan usia dan keterlibatan mantan ratu itu, Mary Tudor yang sudah resmi menjadi Ratu Inggris, memberikannya kesempatan hidup kedua.
Lagi-lagi, kesempatan tersebut menjadi sia-sia karena ayah Jane, Henry Grey, terlibat dalam pemberontakan Sir Thomas Wyatt melawan Ratu Mary. Akibatnya, Jane dieksekusi mati dengan cara dipenggal.