bakabar.com, MARTAPURA - Semangat juang Jarmin (84) seorang veteran perang terakhir asal Tiwingan Lama, Aranio, Kabupaten Banjar, masih terlihat dari dirinya.
Namun kedua mata Jarmin sudah tak lagi bisa melihat karena termakan usia senja, meski demikian dia masih bisa mengenali suara orang dan berbicara secara lugas.
Saat ini Jarmin tinggal bersama dengan anak cucunya di sebuah rumah sederhana di Desa Tiwingan Lama RT 01 RW 01.
Saat bercerita dengan bakabar.com, cara berbicaranya masih bagus, dan Jarmin masih dapat mengingat kejadian-kejadian saat berperang melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Dulu kata Jarmin, mereka berjuang melawan penjajah hanya bermodalkan Tamiang (sejenis bambu berbisa yang diruncingkan) dan juga dum-duman (senjata api rakitan).
“Tamiang ini teda [sangat beracun] sekali, tergores saja orang sudah bisa pingsan, bagaimana jika tertusuk," katanya.
Meski demikian, karena persenjataan tidak memadai, mengharuskan pihaknya berjuang dengan taktik perang gerilya.
"Dahulu kita tidak bisa sembarangan melawan Belanda, biar sebelas orang atau lebih kita bisa mati konyol kalo melawan, karena peralatan kita yang tidak memadai," ujarnya.
Jarmin menceritakan, kala itu, ada teman yang juga keluarganya yang nekat menyerang markas Belanda, namun berakhir sia-sia.
Tugas Jarmin saat itu, menurutnya sebagai penjaga tawanan, baik dari tentara Belanda yang tertangkap maupun dari pribumi yang membelot jadi mata-mata penjajah.
"Dahulu saat perang, saya tidak ikut baku tembaknya, tapi saya kebagian menjaga tawanan," ujarnya.
Tawanan tersebut kata Jarmin tidak sedikit yang dihabisi oleh pejuang lain, namun pihaknya tidak mau menghabisi para pembelot dan Belanda yang berada di perkampungan, pihaknya menghabisi para penjajah tersebut di dalam hutan Aranawai.
"Saya jujur tidak pernah membunuh penjajah dan juga para pembelot, saya hanya menjaga saja," kata Jarmin.
Menurut Jarmin, di masa itu, para penduduk Aranio juga disuruh pemerintah Kolonial Belanda untuk menanam pohon di gunung-gunung agar sungai tidak menjadi surut.
"Namun saat itu selalu terbakar, dan masyarakat disuruh menanam lagi, karena dulu pemadam tidak seperti sekarang," ucapnya.
Berbeda dengan Belanda, pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, Jarmin mengungkapkan langit Aranio tidak pernah kosong dengan pesawat tempur Jepang, paling sedikit 30 pesawat.
"Kalo zaman Belanda itu pesawat tidak seramai saat zaman penjajahan Jepang. Kalo zaman Jepang ini, tiap hari langit ini [Aranio] selalu ramai paling sedikit 30 pesawat yang hanya dinaiki satu orang [pesawat tempur] yang lalu-lalang seakan mengisyaratkan, kalian jangan macam-macam," ungkapnya.
Saat Jepang runtuh, Belanda kemudian ingin menguasai Indonesia lagi, kala itu menjadi perang yang sangat menegangkan.
"Saat jepang runtuh Belanda ingin menjajah kita lagi, di sana perang yang sengit," ungkapnya.
Dengan segala kekuatan, para pejuang kemerdekaan melakukan perjuangan melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bahkan mengorbankan nyawa, harta benda bahkan keluarga mereka.