Relax

Kim Garam Hengkang dari LE SSERAFIM, Seberapa Gawat Kasus Bullying di Korea?

apahabar.com, JAKARTA – Kim Garam resmi keluar dari grup girlband yang membesarkan namanya, LE SSERAFIM, Rabu…

Featured-Image
Kim Garam hengkang dari grup yang membesarkan namanya (Foto: soompi)

bakabar.com, JAKARTA – Kim Garam resmi keluar dari grup girlband yang membesarkan namanya, LE SSERAFIM, Rabu (20/7). Hengkangnya dara kelahiran 2005 ini sebagai buntut atas skandal bullying yang melibatkan dirinya.

Garam, sapaannya, diduga menjadi pelaku bullying semasa sekolah. Sangkaan ini bermula ketika seorang netizen mengaku mendapat penindasan berupa kata-kata umpatan dari sang idol.

Bukti-bukti lain mengenai rumor intimidasi yang dilakukan oleh Garam terus mencuat. Temuan ini sontak menghebohkan jagat maya, sampai akhirnya netizen menuntut sang idol untuk keluar dari girlband besutan Source Music itu.

Kim Garam bukanlah satu-satunya idol K-pop yang tersandung kasus bullying dan berujung dikeluarkan dari grup musiknya. Sebut saja, Soojin, yang didepak dari (G)I-DLE lantaran dituduh melakukan perundungan.

Meski skandal tersebut terjadi bertahun-tahun silam, netizen tak gentar untuk terus menyerukan pemboikotan artis terkait. Hal ini dikarenakan kasus bullying di Negeri Ginseng merupakan persoalan pelik yang sudah sangat mengakar, bahkan sampai memakan banyak korban.

Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi Korea Selatan sempat mengungkapkan, satu dari sepuluh siswa di sekolah dasar hingga menengah pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari kekerasan verbal, pengucilan, pemerasan, pemaksaan pencurian, pengeroyokan, hingga pelecehan.

Pemerintah Korea Selatan sebenarnya sudah mengambil langkah preventif berupa peningkatan keamanan di lingkungan sekolah. Sayangnya, upaya tersebut belum berhasil menyurutkan jumlah kasus bullying.

Maraknya kasus perundungan di Korea Selatan disinyalir terjadi karena budaya bersaing yang ketat alias hyper-competitive. Siswa umumnya dituntut untuk memiliki pencapaian akademis yang baik agar bisa sukses di tengah tingginya tuntutan kehidupan ekonomi.

Budaya hyper-competitive membuat siswa memandang teman sekelasnya sebagai 'saingan' yang mesti dikalahkan. Alhasil, mereka yang tak memiliki pencapaian akademis cenderung menggunakan cara lain untuk menegaskan kekuatannya.

Seorang psiokolog dari Korea Youth Counseling Institute menilai bahwa orang tua siswa turut andil atas tindakan perundungan yang dilakukan buah hatinya. Mereka hanya menuntut sang anak untuk terampil di berbagai bidang, namun tak pernah mendidiknya agar menjadi pribadi bermoral dan berkepribadian baik.

Kondisi ini makin diperparah dengan kurangnya perhatian dan pendampingan dari pihak sekolah. Sekolah yang mestinya menjadi rumah kedua bagi siswa, justru seringkali menyepelekan kasus bullying yang dilaporkan oleh korban.

Bullying tentu berpengaruh buruk bagi korban. Tak sedikit dari mereka yang merasa ketakutan, cemas, stres, depresi, bahkan sampai berujung bunuh diri.

Perundungan ini juga meningkatkan rasa sakit hati korban kepada pelaku hingga mencapai 75 persen. Tak menutup kemungkinan, mereka bakal membenci pelaku bullying untuk tiga sampai lima tahun ke depan.

Berkaca dari kasus bullying di Korea Selatan, Indonesia agaknya juga perlu membenahi sistem pendidikan dan pola asuh anak. Pemerintah harus membuat kebijakan serius guna mewujudkan sekolah yang aman dan berdaya saing sehat. (Nurisma)



Komentar
Banner
Banner