Toponimi Jakarta

Kilas Balik Pasar Senen: Pusat Kongko Cendekia hingga Orang Bandel

Pasar Senen memang terkenal sebagai sentra baju C. Namun, dulunya, kawasan ini adalah tempat kongko seniman muda, yang lantas bubar gegara PKI

Featured-Image
Sejarah Pasar Senen (Foto: dok. GoodNewsFromIndonesia)

bakabar.com, JAKARTA - Harap-harap cemas menghantui Lukas, si penjual celana eceran di Pasar Senen, tatkala dirinya membuka gombalan kuning bertuliskan HJ Trading. Mata sayunya yang semula berbinar, berubah menjadi frustasi, manakala yang dia lihat tak sesuai ekspektasi. 

"Ya, begitulah risiko thrifting. Untung-untungan," ucap pria asal Medan yang membuka thrift shop sejak 2019 itu kepada bakabar.com saat ditemui di Jakarta, ditulis Senin (7/11).

Thrifting sendiri merupakan sebuah usaha yang menjual barang bekas, di mana utamanya dipasok dari negeri orang. Barang yang dijual pun beragam, mulai dari pakaian, sepatu, tas, sampai jam tangan.

Thrifting: Solusi Kaum ‘Elit’ yang Ingin Tampil Necis dengan Dompet Tipis
Thrifting: Solusi Kaum ‘Elit’ yang Ingin Tampil Necis dengan Dompet Tipis

Tren ini mulanya hanya menyentuh segmen kelas bawah sampai menengah – biasa disebut 'elit', alias akronim dari ekonomi sulit. Mereka yang ingin bergaya necis dengan dompet tipis, umumnya memburu pakaian jenis ini.

Lukas, biasanya, membeli satu bal celana bekas impor seberat 100 kilogram dengan harga Rp7,7 juta. Satu bal itu, kata dia, bisa memuat antara 150 hingga 180 potong celana seken bermerek kelas atas.

Tak semua celana yang dia dapatkan berkualitas bagus – dalam artian tanpa cacat sedikit pun. Kendati demikian, Lukas tetap menjajakan barang-barang tersebut yang sekiranya masih layak jual, tentunya dengan harga miring.

"Celana yang 'cacat' itu diobral lagi. Harganya mulai Rp25.000-an," ungkapnya dengan logat khas Batak.

Lukas menuturkan, dirinya tak pernah kesulitan untuk mendapat pasokan celana bekas layak pakai. Sebab, di tempatnya berjualan, yaitu Pasar Senen, terdapat sejumlah pemasok barang thrift impor.

Tempat Kongko Seniman Muda

Pasar Senen, belakangan, memang terkenal sebagai sentra baju bekas yang cukup berkualitas. Namun, siapa sangka, pusat perbelanjaan yang sudah eksis sejak tiga abad silam ini dulunya adalah tempat kongko kawula muda.

“Kabarnya, sejak 1930-an, Pasar Senen sudah menjadi pusat kegiatan para intelektual muda, yakni tempat kumpul mahasiswa yang terlibat dalam ‘pergerakan’ untuk mencapai Indonesia merdeka,” demikian tulis Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel (2008).

Sejarah Pasar Senen (Foto: dok. Kumparan)
Sejarah Pasar Senen (Foto: dok. Kumparan)

Salah satu tokoh kenamaan yang sering mondar-mandir di Pasar Senen adalah Chairil Anwar. Pujangga berjuluk 'Binatang Jalang' itu saban hari mengunjungi bekas kawasan elite itu, entah tempat tukang buku-buku bekas di sekitar Bioskop Grand, ataupun Jalan Keramat Bunder.

Barulah pada awal 1950-an, Pasar Senen kian ramai disambangi anak-anak muda yang tengah merintis karier di bidang seni. Tiap malam tiba, mereka berkumpul di rumah makan Ismail Merapi, sebagaimana disebutkan sastrawan Ajip Rosidi dalam Lekra Bagian dari PKI (2015).

Tempat kumpul lainnya adalah di kios penjual kue putu kaki lima di dekat pompa bensin Pasar Senen. Saat tempat pengisian bahan bakar itu tutup, tersedia halaman luas nan nyaman untuk duduk-duduk berkumpul. 

Anak Senen, begitu sebutannya, berasal dari latar yang bergam: film, teater, sutradara, penulis, redaktur, wartawan, hingga penyelenggara show. Tidak ada yang berencana menjadikan Pasar Senen sebagai titik kumpul; semua terjadi begitu saja hingga 1960-an.

Bubar Gegara PKI

Tongkrongan yang penuh gairah itu, sayangnya, menghilang saat memasuki tahun 1962. Ketika itu, agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) di kalangan seniman mulai mencuat. Beriringan dengan mekarnya Demokrasi Terpimpin, sejumlah Anak Senen pun mulai jadi kaum kiri.

Pembahasan soal politik juga mulai menyela obrolan-obrolan di antara Anak Senen. Misbach, dalam memoarnya, mengaku ingat betul betapa Anak Senen kesal dengan pembahasan yang demikian, sampai-sampai enggan datang lagi ke tempat kongkonya itu.

“Mereka mulai sebal mendengar ocehan politik tidak karuan dari orang-orang yang mulai nempel ke kiri. Meski ketegangan di dalam masyarakat Anak Senen tak begitu kentara, namun yang jelas bahwa tempat mangkal di Senen semakin sepi,” demikian tulisnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner