bakabar.com, JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta menjelaskan kerja sama sistem pembayaran dengan Singapura akan dirilis pada semester kedua 2023.
“Indonesia telah memulai implementasi kerja sama sistem pembayaran lintas negara dengan Thailand pada 2022 dan Malaysia baru-baru ini. Sementara kerja sama dengan Singapura ditargetkan rilis pada akhir 2023,” kata Filianingsih di Jakarta, Selasa (9/5).
Selain tiga negara tersebut, Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Filipina dalam hal inovasi keuangan dan sistem pembayaran sejak 2019.
Kerja sama Indonesia dengan sejumlah negara ASEAN itu diwujudkan dalam bentuk penyetaraan kode Quick Response (QR), pembayaran cepat untuk ritel, dan kesepakatan penggunaan uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS).
Baca Juga: Bank Indonesia dan Bank Sentral Laos Perkuat Kerja Sama Bilateral
LCS merupakan salah satu kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+3 untuk memperkuat kerja sama keuangan di kawasan. Negara-negara ASEAN+3 mencakup 10 negara Asia Tenggara beserta China, Jepang, dan Korea.
LCS bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS sehingga dapat memperkuat stabilitas mata uang masing-masing negara anggota.
Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama LCS dengan lima negara, yakni Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan Korea Selatan.
Dalam kesempatan terpisah, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan akan terus memperluas cakupan LCS.
Baca Juga: Kebijakan LCT, Ekonom: Indonesia Diapresiasi Positif oleh Negara ASEAN
Perry menjelaskan, upaya penggunaan mata uang lokal bertujuan untuk mengefisiensikan biaya transaksi perdagangan dan mengurangi risiko nilai tukar sebab, penggunaan mata uang lokal mempersingkat proses transaksi dengan menghilangkan proses konversi mata uang lokal ke dolar dan dari dolar ke mata uang lokal.
Menurut Perry, upaya pengurangan penggunaan dolar Amerika Serikat (AS) atau dedolarisasi melalui penggunaan mata uang lokal telah terlihat pada menurunnya penggunaan dolar AS di level global.
Dia merujuk pada data Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang menunjukkan penggunaan dolar AS telah menurun ke level sekitar 50 persen dari yang sebelumnya pernah mencapai 70 persen.