bakabar.com, JAKARTA - Indonesia yang saat ini tidak henti-hentinya membangun telah menimbulkan pertanyaan besar, mengingat hasilnya belum memuaskan. Hasil pembangunan seakan merujuk pada hitungan angka, namun kurang berpihak pada peningkatan kualitas dan perubahan nasib masyarakat.
Koordinator Bidang III Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Prof. Agus Taufik Mulyono menyerukan pentingnya upaya perubahan, bukan hanya sistemik tetapi juga dibarengi dengan perubahan paradigmatik untuk memberikan arah yang lebih tepat pada pembangunan Indonesia.
Termasuk kendala Penilai Ahli dalam melaksanakan Peraturan Menteri PUPR No. 8 Tahun 2021 tentang Penilai Ahli, Kegagalan Bangunan, dan Penilaian Kegagalan Bangunan.
Hal itu penting untuk memahami tentang legalisasi proses kegagalan pembangunan. Sebagai informasi, kegagalan bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil jasa konstruksi.
Baca Juga: Rekonstruksi Tiga Titik Jalan Tol Jakarta-Cikampek Belum Selesai
Untuk itu kredibilitas Penilai Ahli seharusnya tetap berpegangan pada kode etik dan kode perilaku serta mengkaji kembali fungsi manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola kelompok kerja.
Pasalnya, masih terdapat kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan yang mengakibatkan adanya kegagalan bangunan. Dalam catatan konstruksi di Indonesia, salah satu kasus kegagalan bangunan yang cukup mendapat perhatian masyarakat antara lain runtuhnya jembatan Mahakam II di Kalimantan Timur pada bulan Nopember 2011 yang diikuti dengan pemberian sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pejabat pelaksana teknis kegiatan, kuasa pengguna anggaran dan manajer proyek.
Hal itu jelas berhubungan dengan pengetahuan tentang penyelenggaraaan jasa konstruksi, baik dari sisi teknis maupun dari regulasi yang ada.
"Jadi ada tiga hal penting yang harus dipahami. Pertama, penilai ahli, kegagalan bangunan dan penilaian kegagalan bangunan," ujar Agus Mulyono mengutip dari tayangan Youtube Hutama Karya, Jumat (7/4).
Baca Juga: Jelang Mudik, Jasa Marga Rekonstruksi Tiga Titik Tol Jakarta-Cikampek
Ketiga hal itu adalah rangkaian kegiatan untuk mewujudkan, memelihara, menghancurkan bangunan yang sebagian seluruhnya menyatu dengan tanah atau tempat kedudukannya menyatu dengan tanah.
Dalam hal itu, proses penilaian kegagalan bangunan dimulai dari pemeriksaan objek bangunan. Kemudian, mengidentifikasi dan menginvestigasi kegagalan bangunan. Selanjutnya, menganalisis akar masalah penyebab gagalnya bangunan, menghitung besaran kerugian dan menetapkan pihak mana yang bertanggung jawab.
"Disini kata 'bertanggung jawabnya' bukan pidana, melainkan perdata. Jadi penilai ahli tidak melakukan proses kepidanaan tapi keperdataan," jelasnya.
Lebih lanjut, penilai ahli dapat melakukan penilaian kegagalan bangunan atas penugasan secara tertulis dari ketua LPJK, bukan dari pihak lain.
Baca Juga: Pembangunan Pipa Gas Senipah-Balikpapan, PGN: Capai 80 Persen
"Jika aparat penegak hukum memerintahkan seorang penilai ahli menjadi saksi dalam proses penyelidikan. Maka seorang tersebut tidak berkapasitas sebagai penilai ahli tetapi sebagai ahli profesional dibidang konstruksi," pungkasnya.
Seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi dan diperjelas dalam peraturan turunannya pada PP No. 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi, terjadi perubahan dalam sistem penyelenggaraan jasa konstruksi, khususnya kedudukan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
LPJK saat ini berkedudukan di bawah Kementerian PUPR yang menjalankan sebagian tugas Pemerintah pada penguatan pelaksanaan teknis jasa konstruksi, di mana tidak hanya berfokus pada registrasi dan akreditasi saja, namun juga penetapan penilai ahli, penyetaraan tenaga kerja asing serta pengelolaan program keprofesian berkelanjutan.