bakabar.com, JAKARTA - Senior Advisor Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) Rukaiyah Rafiq menilai kebijakan UU Deforestasi Uni Eropa (EUDR) sangat berdampak, khususnya bagi petani swadaya atau petani rakyat. Tercatat saat ini sedikitnya ada 2,4 juta petani sawit swadaya di Indonesia.
EUDR merupakan regulasi yang mensyaratkan dokumen uji tuntas dan verifikasi sebagai bentuk jaminan oleh eksportir bahwa produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan (deforestasi) dengan batas maksimal akhir tahun 2020. Kebijakan tersebut diimplementasikan pada bulan Juni 2023 dengan mandat implementasi 18 bulan.
"Persoalan itu muncul pada petani swadaya, karena masalah dasarnya petani swadaya tak punya traceability, legalitas, SHM, dan itu besar sekali tantangannya," ujar Rukaiyah saat dihubungi bakabar.com, Jumat (14/7).
Namun lanjut Rukaiyah, bagi perusahaan besar, kebijakan EUDR tidak menjadi masalah karena mereka memiliki perangkat sumber daya, seperti dana, teknologi, legalitas, dan mudah memenuhi berbagai persyaratan lainnya.
Baca Juga: Kebijakan EUDR: Problematik, Sepihak, dan Rugikan Negara Lain
Petani swadaya biasanya menjual hasil panen mereka ke perusahaan besar. Namun dengan kebijakan EUDR, hasil sawit mereka menjadi tidak mudah untuk diserap oleh perusahaan karena dinilai berisiko tinggi terhadap kredibilitas perusahaan.
"Dengan kondisi petani swadaya yang lemah secara legal, itu akan membawa risiko tinggi ke perusahaan jika diekspor ke Uni Eropa. Karena itu perusahaan tidak membeli," ujarnya.
Selain persoalan legalitas, petani swadaya membawa risiko tinggi kepada perusahaan karena para petani swadaya tidak pernah melakukan hasil uji tuntas, sebagaimana dimandatkan oleh EUDR. Hal yang sama juga terjadi pada analisis risiko, yang memang jarang dilakukan oleh para petani swadaya.
Baca Juga: Perwakilan UE Datang ke Indonesia, Momentum Negosiasi Regulasi EUDR
"Jadi petani swadaya punya risiko cukup besar, dan akhirnya mereka diabaikan dan tak bisa diakomodir. Mereka akan terlempar jauh dari skema perdagangan hijau," ujarnya.
Di sisi lain, ungkap Rukaiyah, kebijakan EUDR ternyata tidak mampu mengatasi deforestasi di Indonesia. Kehadiran para petani swadaya selama ini, memang erat dengan praktik deforestasi, karena letak kebunnya yang berdekatan dengan kawasan hutan dan area-area rentan. Mereka terbiasa membuka kebun sawit di kawasan hutan.
Sebaliknya, kebijakan EUDR hanya akan menguntungkan negara-negara Uni Eropa. Pasalnya, mereka akan mendapatkan produk hijau yang diproses melalui cara-cara yang bertanggungjawab dan tidak membabat hutan.
Baca Juga: Di Depan NGO Uni Eropa, RI Tegaskan Tolak Diskriminasi Sawit dalam EUDR
"Petani swadaya sebagian besar masih melakukan secara konvensional. Jadi Uni Eropa untung dapat produk hijau, tapi tak mengatasi deforestasi di Indonesia" ujarnya.
Jika kebijakan EUDR dapat kita patuhi, menurut Rukaiyah, hal itu berdampak signifikan terhadap penerimaan negara dari ekspor non migas, utamanya komoditas sawit. Itu terjadi lantaran Eropa merupakan pasar premium untuk komoditas produk sawit.
"Kalau dihitung ekspor ke Eropa cuma 20%, tapi nilainya sangat besar, karena itu pasar premium. Kalau petani swadaya tidak masuk ke pasar premium pasti anjlok harganya. Mereka ekspornya, ya harga obral ke India atau Cina," tutupnya.