Bisnis

Kadin Berang dengan Sikap AS Kucilkan Indonesia soal Subsidi Nikel

Belakangan sikap Amerika Serikat (AS) soal kebijakan subsidi nikel dinilai sudah mengucilkan Indonesia.

Featured-Image
Ilustrasi - Mobil listrik tengah mengisi daya di tempat pengisian umum. Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA - Belakangan sikap Amerika Serikat (AS) soal kebijakan subsidi nikel dinilai sudah mengucilkan Indonesia. Pasalnya, melalui undang-undang baru Inflation Reduction Rate (IRA), AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik.

Namun demikian, insentif tersebut dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, RI belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan juga dominasi perusahaan China dalam industri nikel Indonesia.

Menanggapi itu, Ketua Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mendesak AS untuk bersikap lebih adil dalam pemberian subsidi hijau bagi mineral untuk kendaraan listrik.

"Kami berupaya memastikan memiliki portofolio inklusif, baik China maupun non-China dalam sektor pertambangan nikel guna mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dan saling menguntungkan,” kata Arsjad seperti dikutip dari siaran resmi, Jumat (7/4).

Baca Juga: Imbauan Pemberian THR Lebih Awal, Kadin: Tentu Kami Berkeberatan

Padahal Indonesia adalah Pemasok nikel terbesar di dunia. Mengingat nikel merupakan bahan penting untuk prosuksi baterai kendaraan listrik.

Mengutip dari Booklet Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel (termasuk nikel limonite/kadar rendah).

"Indonesia dapat memainkan peran penting dalam pemenuhan kebutuhan AS terhadap kendaraan listrik dan baterai. Indonesia memiliki sepertiga dari dari total cadangan nikel dunia yang menempatkan Indonesia pada posisi pertama," ungkapnya.

Baca Juga: Kadin Minta Pengusaha Lokal Buka Diri untuk Perdagangan Luar Negeri

Potensi nikel juga terlihat melalui investasi yang ditanamkan berbagai negara pada sektor pertambangan, khususnya pengembangan kendaraan listrik dan baterai, seperti yang dilakukan oleh LG, SK Group, hingga Samsung dan Hyundai.

Arsjad menyatakan, para investor tersebut penting dalam hilirisasi industri nikel, termasuk katoda, sel baterai, dan produksi kendaraan. Selain itu, LG Energy Solution juga sedang membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia dengan produsen mobil listrik Hyundai.

Untuk itu, Ia berharap AS akan memberikan status yang setara kepada anggota Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) dengan negara-negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas penuh dengan Amerika Serikat.

"Kami sedang berdiskusi tentang IPEF, dan semangat perjanjian itu adalah kerja sama. Jika Amerika mengecualikan ASEAN, rasanya sangat tidak adil," pungkasnya.

Baca Juga: Kadin Minta Keringanan untuk Pembagian THR bagi Industri Padat Karya

Sebagaimana diketahui, Pemerintah AS akan menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan kendaraan listrik (EV) di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi dalam beberapa minggu ke depan. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Namun, baterai yang mengandung komponen dari Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak Inflation Reduction Rate (IRA) secara penuh. Pasalnya, Indonesia disebut belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel.

Editor
Komentar
Banner
Banner