Biaya sebanyak itu berasal dari tarif pelayanan farmasi, dan obat-obatan yang harus dikonsumsi VDPS guna mengurangi efek traumatis pascainsiden kelam, Agustus silam.
Andai tak mengonsumsi, VDPS mengigau dalam tidur. Kerap berteriak-teriak sambil menangis terisak. Keluarga terus kuatir akan kondisi psikis VDPS.
Bulan depan, tanggungan pengobatan bantuan dari pemerintah habis. Januari kemarin menjadi bulan terakhir VDPS berobat dalam tanggungan pemerintah.
"Saya maupun keluarga belum ada kabar tentang bantuan. Tapi untuk saat ini, saya berobat secara pribadi," ujar VDPS dihubungi bakabar.com, Senin (28/1).
Jika sejuta per sebulan, artinya dalam setahun VDPS harus menanggung biaya pengobatan sebesar Rp12 juta. Atau berkisar Rp450 juta hingga usianya setidaknya menginjak 60 tahun.
Soal itu, Pengacara VDPS, Muhammad Pazri tak tinggal diam. Mereka terus berupaya mematangkan gugatan perdata terhadap Bayu Tamtomo.
Tim pengacara berharap Bayu yang telah divonis bersalah 2 tahun 6 bulan penjara ikut menanggung biaya ganti rugi pengobatan VDPS.
"Kami terus matangkan gugatan perdata, termasuk meminta masukan dari para ahli hukum lain," ujar doktor jebolan Universitas Sultan Agung ini.
Sebagai pengingat, 18 Agustus di Hotel Tree Park, Bayu yang masih berpangkat brigadir kepala memerkosa VDPS. Lebih dulu, mahasiswi magang Satresnarkoba ini dicekoki 2 kratingdaeng oplosan oleh Bayu.
Pascapemerkosaan, VDPS harus menjalani pengobatan jalan oleh RS Ansari Saleh. Setiap hari, dokter mewajibkan dia meminum obat penenang.
Namun anehnya, sampai hari ini belum terdengar hasil penyelidikan kepolisian mengenai minuman apa yang diberikan Bayu ke VDPS hingga membuatnya tak sadar diri.
Untuk diketahui, bukannya pemerintah tak peduli. Sejak September hingga Januari, UPTD Perlindungan dan Anak Kalsel sudah membantu biaya pengobatan VDPS.
"Sebenarnya hanya tiga bulan saja, tapi karena kasus ini masih lanjut dan viral, makanya mereka menanggung," ujar Pazri.
Tak hanya diperkosa oknum polisi, sebelumnya, VDPS juga banyak mengalami perilaku intimidatif selama berjuang seorang diri mencari keadilan.
Pasalnya, saat itu pihak kampus tak tahu jika VDPS telah diperkosa. Pihak kampus hanya tahu dari media sosial.
Itupun Bayu sudah divonis hakim 2 tahun 6 bulan. Praktis, tak banyak yang bisa dilakukan kampus dalam advokasinya.
VDPS memang sudah mendapat perlakuan beda sejak kasusnya bergulir di kepolisian. Seorang anggota polisi mempersoalkan ketidaktahuan VDPS bahwa Bripka Bayu telah memiliki istri, saat dia hendak melapor ke Polresta Banjarmasin. Seorang polisi lainnya menyindir VDPS yang tak menggunakan jilbab.
"Dugaan pelanggaran etik itu sampai sekarang belum diproses Polda," ujar Pazri.
Tak hanya di kepolisian, dugaan aksi intimidatif nyaris serupa juga diterima VDPS ketika kasusnya bergulir di kejaksaan. Bahkan dari jaksa yang mendampinginya.
Senin 20 September 2021, seorang jaksa diduga meminta VDPS tak memberitahu siapapun, termasuk pihak kampus, mengenai kasusnya itu.
"Itulah alasan mengapa kampus tidak tahu," ujar Pazri.
VDPS juga harus absen menghadiri sidang vonis Bayu, 11 Januari. Ia baru tahu pemerkosanya itu divonis bersalah setelah menelepon jaksa yang menangani kasusnya, 12 hari kemudian.
Kekecewaan VDPS membuncah ketika tahu jaksa berlaku seperti pengacara terdakwa yang menerima mentah-mentah putusan hakim.
"VDPS jelas tidak terima keputusan hakim itu, dia tambah frustasi," ujar Pazri.
Tak hanya intimidasi jaksa, polisi atau dugaan diskriminatifnya pengadilan, sampai kini VDPS juga belum menerima hasil uji lab atas urine dan darahnya. Banyak pihak berspekulasi bahwa apa yang diminum VDPS hingga tak sadarkan diri bukan sekadar anggur merah.
"Pelaku ini bekerja di Satresnarkoba," ujar Pazri.
Vonis senyap hakim berlangsung 12 hari sebelum VDPS speak up di media sosial atau tepatnya 11 Januari. Majelis hakim memvonis Bripka Bayu setahun lebih rendah dari tuntutan jaksa. Sidang beres hanya dalam kurun 31 hari kerja atau sejak 30 November.
Pazri menyesalkan mengapa jaksa justru mencantumkan Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan dengan perempuan yang bukan istri.
Mestinya, jaksa mencantumkan Pasal 285 tentang pemerkosaan mengingat VDPS ditipu daya hingga tak sadarkan diri. Selain mendapat banyak paksaan, terdapat bekas luka memar di kaki dan tangan VDPS yang tak pernah divisum kepolisian.
"Di sini banyak kejanggalannya," sesal Pazri.
Pazri sendiri berharap Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, maupun Kompolnas segera turun tangan mengusut tuntas semua dugaan penyimpangan selama proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus VDPS.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat kepada wartawan, Minggu (30/1) sebelumnya telah menilai vonis hakim terhadap Bayu belum maksimal.
"Hasil pemantauan Komnas Perempuan menyimpulkan hukuman terhadap pelaku pemerkosaan belum maksimal dan perempuan korban belum dipenuhi hak-haknya," ujarnya.
Apalagi, kasus pemerkosaan VDPS, terang Rainy, terkait-paut dengan relasi kekuasaan antara pelaku dengan korban, misalnya atasan dengan pekerja magang.
Rainy membeber hukuman-hukuman pemerkosa yang tercatat di sejumlah aturan perundang-undangan. Seperti KUHP (maksimal 12 tahun penjara), UU PKDRT (maksimal 12 tahun penjara tahun atau denda paling banyak sebesar Rp 36 juta), dan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak (paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 dengan denda Rp 5 M).
Saat ini para ahli hukum di ULM tengah berupaya mengajukan eksaminasi pada putusan hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin yang hanya memvonis Bayu 2 tahun enam bulan.