Serba-serbi Mudik

Jutaan Perantau Melakukannya, Bagaimana Tradisi Mudik Bermula?

Mudik, begitu sebutannya, menjadi momen terbaik bagi para pengadu nasib ibu kota untuk melepas rindu bersama keluarga di tanah kelahiran

Featured-Image
Suasana mudik di masa lalu. Foto: Good News From Indonesia.

bakabar.com, JAKARTA - Ruas jalan tampak lengang. Langit lebih jernih, udara pun makin sejuk dihirup. Begitulah panorama Jakarta saban tahun menjelang, dan beberapa hari setelah, perayaan Idulfitri.

Tak lain dan tak bukan, penduduk metropolitan kembali ke kampung halaman. Mudik, begitu sebutannya, menjadi momen terbaik bagi para pengadu nasib ibu kota untuk melepas rindu bersama keluarga di tanah kelahiran.

Tradisi tahunan yang demikian, rupanya, sudah melanggeng sejak Indonesia mengikrarkan kemerdekaan. Tepatnya sekitar 1950-an, ketika pemerintah memfokuskan pembangunan di Jakarta, warga daerah berbondong-bondong datang mengadu nasib.

Sejarawan, Muhammad Yuanda Zara, menyebut fenomena itu dilatarbelakangi harapan usai ratusan tahun melakoni peperangan. “Orang melihat setelah tahun-tahun penuh kolonialisme, ada semacam harapan di Jakarta,” ujarnya, dikutip dari Historia.id, Jumat (14/4).

Ratusan ribu kepala, yang utamanya berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, datang ke ibu kota pada era 1950-an. Sebagian dari mereka ialah orang terdidik, sedangkan yang lainnya pekerja kerah biru.

Selang beberapa tahun menetap, para pendatang itu mulai dilanda rindu. Terbesit harapan di benak mereka, bayaran yang susah payah terkumpul selama ini, setidaknya, bisa memenuhi kebutuhan keluarga di kampung halaman.

Dari sanalah, muncul fenomena mudik massal yang dilakukan para pekerja Jakarta. Ketika itu pula, tepatnya pada 1960-an, pemerintah mulai mendukung kegiatan pulang kampung dengan menghidupkan kembali jalur kereta di masa kolonial.

Selang dua dekade kemudian, atau pada 1980-an, pemerintah memperluas opsi kendaraan untuk mudik. Kereta api, bus, kapal laut, hingga pesawat terbang mulai dioperasikan dengan harapan mampu menjangkau daerah yang lebih jauh.

Seiring maraknya opsi kendaraan, istilah mudik pun mulai menyeruak. Penamaan ini berasal dari sebuah wawancara yang dimuat surat kabar lokal di Yogyakarta pada 1983.

Surat kabar itu memuat kisah para pembantu yang berasal dari kawasan Jalan Kaliurang, dekat lereng Merapi, bekerja di pusat kota Yogyakarta. Dalam wawancaranya, mereka menggunakan kata “mudik.”

Kata itu merujuk pada kegiatan mereka kembali ke rumahnya di Kaliurang. Sejak saat itulah, mudik yang merupakan akronim dari “mulih dhisik”, mulai menyeruak. Dalam bahasa Jawa, kata itu berarti “pulang sebentar.”

Editor


Komentar
Banner
Banner