bakabar.com, JAKARTA - Kabar dibukanya kembali pelayanan ibadah umrah dari Kerajaan Arab Saudi ditanggapi Komnas Haji dan Umrah. Mereka memprediksi sengketa akan terjadi antara calon jemaah umrah dengan travel atau penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) akan marak terjadi.
Sengketa itu akan terjadi khususnya bagi mereka yang telah memiliki jadwal keberangkatan sebelum pandemi Covid-19 merajalela. Kebanyak di antara mereka umumnya telah membayar lunas semua biaya kepada PPIU.
“Seharusnya calon jemaah sudah berangkat tetapi karena pandemi Covid-19 melanda berbagai negara seluruh jadwal penerbangan umrah yang berangkat antara Februari-Juni gagal berangkat,” kata Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj, Senin (21/9).
Dosen Hukum Bisnis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta mengatakan, baik pemerintah RI maupun Arab Saudi mengambil kebijakan menangguhkan jadwal umrah. Bahkan mereka yang sudah di bandara atau sudah terbang dan transit di negara lain saja harus putar balik.
“Hal mana sempat memunculkan kegaduhan dan penumpukan di area bandara,” katanya.
Memasuki bulan Safar seperti sekarang, yang merupakan awal musim dibukanya musim ibadah umrah oleh pemerintah Arab Saudi ke tanah suci, calon jemaah yang dulu merasa sudah membayar lunas akan mulai meminta komitmen kapan diberangkatkan, mereka akan meminta kepastian. Bahkan kecenderungan yang akan muncul dengan kondisi ekonomi yang berada dalam bayang-bayang ancaman resesi di mana kemampuan ekonomi masyarakat mulai melemah.
“Calon jemaah umrah akan memilih menarik (refund) dananya kepada pihak travel untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari,” katanya.
Terlebih akhir dari pandemi Covid-19 masih sulit diprediksi kapan benar-benar berlalu, dampaknya kepastian pemberangkatan umrah masih buram. Keadaan ini makin rumit, WNI ditolak oleh berbagai negara karena dianggap belum bisa mengendalikan situasi, bahkan angkanya terus menanjak.
Di sisi lain dari pihak travel (PPIU) tidak akan tinggal diam, bisa saja mereka akan menggunakan 'senjata pamungkas' kepada jamaah yang meminta refund atau berangkat, bahwa kegagalan jadwal keberangkatan umrah adalah peristiwa yang berada di luar jangkauan kemampuan mereka (force mejuer), bahkan dana setoran jemaah sudah digunakan untuk berbagai keperluan persiapan penyelenggaraan misalnya untuk booking tiket pesawat, sewa hotel, catering, operasional dan sebagainya.
“Tetapi di luar dugaan ada bencana non alam menghantam,” katanya.
Dalam konteks semacam ini, potensi terjadinya perselisihan (dispute) antara calon jemaah dan PPIU sangat mungkin terjadi karena masing-masing pihak akan saling tarik-menarik kepentingan. Apalagi tidak semua travel memiliki kemampuan dan cadangan keuangan yang kuat.
Sektor yang juga akan terkena dampak dan berpotensi terjadi sengketa adalah menyangkut pembiayaan umrah yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan baik oleh bank maupun non bank. Pada titik inilah peran Kementerian Agama sebagai regulator dan pengawas sangat penting menjadi penengah dalam menghadapi persoalan umrah.
Setidaknya kata dia, Kemenag sejak dini harus udah menyiapkan antisipasi, memetakan dan skema penyelesaian yang adil dan proporsional, sehingga dua kepentingan itu memiliki kanal dan saluran penyelesaian yang solutif. Dalam penyelesaian ini tidak ada yang merasa dirugikan melainkan ada penyelesaian yang adil dan win win solution.
“Jangan ada pihak yang merasa dirugikan khususnya calon jemaah. Terlebih bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah,” katanya.
Jamaah umrah sebagai calon tamu-tamu Allah harus mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum bagi mereka harus diprioritaskan jangan diabaikan.
“Jangan terulang lagi hak-hak jamaah diabaikan sebagaimana kasus-kasus yang pernah meledak sebelumnya,” katanya.(irh)
Editor: Muhammad Bulkini