News

Jelang Pemilu, Peneliti: Tragedi 2017 Jangan Terulang Lagi

Tragedi pemilu daerah 2017 yang terjadi di DKI Jakarta merupakan catatan buruk demokrasi Indonesia.

Featured-Image
Ilustrasi politik identitas yang memecah belah masyarakat.(Foto: Geotimes)

bakabar.com, JAKARTA - Peneliti senior Politik LIPI, Siti Zuhro menjelaskan politik identitas masih menghantui. Tragedi pemilu daerah 2017 yang terjadi di DKI Jakarta merupakan catatan buruk demokrasi Indonesia. Terlebih jika menggunakan agama sebagai alat memobilisasi suara. “

Menggunakan agama sebagai bahan politik itu merupakan pemikiran jadul,” ujarnya pada bakabar.com, Sabtu (11/2).

“Kasus Pilkada 2017 itu spesifik DKI Jakarta, memang konteksnya untuk ke depan kita sudah tidak ingin mendengar politisasi agama itu jadi itu cara berpikir analog berpikir kita sekarang ini digital,” terusnya menjelaskan. 

Baca Juga: Kapolri Ingatkan Jajarannya Cegah Polarisasi dan Politik Identitas

Ia percaya dalam pemilihan umum berikutnya, politisasi agama tidak akan jadi menu utama para partai politik untuk melakukan kampanye.

Ilmuwan politik itu berharap besar pada pemilih muda yang lebih kritis dan pintar, agar lebih jeli melihat kinerja bakal calon, alih-alih terjebak narasi adu domba. 

“Pemilih nanti itu 60% lebih di bawah umur 40 tahun, ini berarti bukan baby boomer lagi, jadi itu (politik identitas) sudah tidak relevan, sudah tidak signifikan, tidak juga menguntungkan, karena itu nanti elite-elite yang berjual cara-cara jadul itu tidak akan diuntungkan,” imbuhnya.

Baca Juga: [OPINI] Ketika Anies Terjebak Stigma ‘Pemain’ Politik Identitas

Ia menegaskan, jika pada kompetisi ini kualitas harusnya yang lebih banyak dikejar oleh partai politik maupun calon peserta pemilu.

”Bagaimana kita meningkatkan kualitas kita Indonesia itu berkompetisi dengan negara lain, se-Asia Pasifik masyarakatnya besar 237 juta jiwa dan kita mau maju bener-bener ini,” ungkap Zuhro.

Ia percaya anak muda jauh lebih bisa menilai kualitas dari calon peserta pemilu alih-alih hanya popularitasnya saja.

“Dulu kita tidak pernah mendengar calon presiden itu harus orang cerdas, mampu tidak bekerja untuk Indonesia, sekarang generasi muda kita sudah bisa menilai itu,” kata dia. 

Dari sini ia percaya, sudah saatnya partai politik mentransformasi cara pandang kepemimpinan mereka, alih-alih hanya bersaing untuk mendapatkan kursi, memperbaiki kinerja publik lebih banyak berimbas bagi Indonesia kedepan. Ia berharap jika tragedi Pilkada 2017 tidak terulang lagi. 

Editor


Komentar
Banner
Banner