Kekerasan Terhadap Perempuan

Jatim Urutan ke-2 Tertinggi Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Komnas Perempuan sebut Jatim urutan kedua tertinggi dalam kasus kekerasan perempuan. Kasus tertinggi yakni kekerasan terhadap mantan pacar.

Featured-Image
ILUSTRASI: Pelecehan seksual. ANTARA/Ist/am.

bakabar.com, JEMBER - Komnas Perempuan sebut Jawa Timur (Jatim) menempati urutan kedua tertinggi dalam kasus kekerasan perempuan. Kasus tertinggi adalah kekerasan terhadap mantan pacar.

Data Komnas Perempuan, kasus kekerasan perempuan di Jatim mencapai 53.861 kasus. Angka itu satu tingkat di bawah Jawa Barat yang mencapai 61.139 kasus.

Kasus tertinggi adalah kekerasan terhadap mantan pacar. Kedua adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

"Kebanyakan pelaku tidak rela mantan pacarnya bahagia dengan orang lain," kata Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat, Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, Jumat (1/12).

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual di Kalimantan Tengah Cenderung Diselesaikan secara Adat

Kendati demikian, sebagian penegak hukum dinilai belum menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Mayoritas masih menggunakan KUHAP yang belum berpihak kepada korban.

"Sementara UU TPKS sudah cukup mengakomodir korban. Termasuk pelaku harus membayar restitusi," ujar Veryanto.

Dia juga menyarankan agar korban kekerasan seksual tidak melapor melalui media sosial. Sebab, korban rawan terkena doxing atau penyebaran informasi pribadi tanpa persetujuan di dunia maya.

"Kami menyarankan lapor ke penegak hukum dan  minta pendampingan dari lembaga layanan," ujar dia.

Baca Juga: Hari Anti Kekerasan Perempuan, Jaringan Masyarakat Sipil Tagih Implementasi UU TPKS ke Pemerintah

Sementara itu, UPTD PPA Jember mengungkapkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun 2022 mencapai 175 kasus dengan 75 korban. Sebanyak 17 kasus adalah kekerasan fisik, 75 kekerasan psikis, 34 kekerasan seksual, 8 penelantaran, dan 1 kasus trafficking.

"Jumlahnya sangat mungkin lebih tinggi karena tidak semua kejadian dilaporkan dan diproses secara hukum," kata Ketua Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Negeri Jember (Unej), Linda Dwi Eriyanti.

Editor


Komentar
Banner
Banner