Tak Berkategori

Ironi, Ketika Keindahan Gunung Hauk Balangan Ternodai Sampah

Siapa sangka Gunung Hauk menyimpan keindahan dan keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Sayangnya, di balik keindahan…

Featured-Image
M Jefry Raharja anggota mahasiswa pencinta alam (Mapala) Apache STMIK Banjarbaru bersama tujuh rekannya melakukan pendakian di Gunung Hauk, Desa Ajung, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan. Foto-foto: Fauzi Fadillah

Siapa sangka Gunung Hauk menyimpan keindahan dan keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Sayangnya, di balik keindahan Gunung yang menjulang di Desa Ajung, Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, menyimpan pemandangan kontras; tumpukan sampah.

Fauzi Fadillah, PARINGIN

DARI pendakian bakabar.com bersama tujuh pemuda lainnya, termasuk M Jefry Raharja anggota mahasiswa pencinta alam (Mapala) Apache STMIK Banjarbaru, dengan mudahnya ditemui serakan sampah bertebaran di sepanjang jalur dan pos pendakian di gunung setinggi 1.325 meter dari permukaan laut (MDPL) itu.

Ya, saat kebanyakan keluarga merayakan kebersamaannya dengan piknik ke tempat-tempat wisata, Jefry cs memilih berlebaran di pegunungan dalam wilayah adat Dayak Pitap tersebut.

Menurut Jefry, perilaku meninggalkan sampah sembarangan bukan cerminan seorang pendaki ulung yang sadar akan bahaya sampah anorganik.

“Agar alam bisa menguraikan atau menghancurkan sampah plastik diperlukan waktu yang lama, coba lihat plastik ini diperlukan waktu 50-100 tahun untuk terurai. Puntung rokok 10 tahun. kaleng soft drink (alumunium) 80-100 tahun,” katanya seraya menunjuk serakan sampah plastik, di sela pendakian kemarin.

Selain mencoreng keindahan alam, sampah anorganik berbahaya untuk resapan air. Dampaknya mengganggu perkembangan tumbuhan, dan mengurangi daya serap lingkungan sekitar.

Terpantau, sejumlah sampah yang ditemui umumnya adalah sampah bungkus mie instan beserta bungkus bumbu, botol air mineral, cangkir air mineral, bungkus roti, bungkus kopi dan putung rokok beserta bungkusnya.

Gerah dengan pemandangan itu, mereka berinisiatif mengumpulkan sampah yang ditemui di sepanjang jalur pendakian.

“Yang paling parah kok bisa di mata air terakhir (Sungai Habang) sampah bertumpuk. Berbahaya kan, jika airnya dikonsumsi para pendaki yang naik,” terangnya.

img

Tiba di Desa Ajung, trashbag atau kantong sampah berukuran 60×100 penuh dengan sampah anorganik. Menurut penuturan penduduk setempat, pascalebaran jumlah pendaki yang datang melebihi hari biasa yang hanya 5 atau 10 orang saja.

“Sebenarnya masih banyak sampah di atas (Gunung, Red), tapi hanya dua kantong kemampuan kami untuk membawa,” ujar Cecef, pendaki lain.

Sedikit gambaran tentang Gunung Hauk. Bagian dari pegunungan Meratus, gunung ini dianggap sakral/keramat.

Kerap dijadikan tempat ritual adat oleh masyarakat adat dayak Kitap, sejak 1990 gunung ini menjadi salah satu gunung favorit bagi para pendaki, baik dari Kalsel maupun luar Kalimantan, meski Gunung Hauk bukan puncak tertinggi di Banua.

“Biasa, kami juga belum pernah naik Gunung Hauk,” ujar Imam Anggota Mapala Universitas Islam Indonesia yang kebetulan pulang dari Jogja untuk berlebaran di Tapin.

Menjadi favorit, lantaran adanya tempat yang disebut Hambal Lumut di mana kawasan ini merupakan kawasan yang dipenuhi tumbuhan lumut yang tebal.

“Sehingga jika berada di sana serasa berada di atas Hambal (Karpet tebal),” ujarnya.

Tak kalah menariknya, adalah keberadaan Telaga Warna. Yaitu kolam alami yang terdapat di kawasan sebelum sampai puncak. Di mana keistimewaan kolam tersebut yakni airnya berwarna kemerah-merahan, namun saat diambil dari kolam warna berubah menjadi bersih dan bening. Bahkan rasa airnya pun sangat segar, sebagaimana rasa khas air dari pegunungan.

Ke depan, Jefry dkk berharap para pendaki yang naik ke Gunung Hauk untuk bertanggung jawab atas sampahnya masing masing.

Sebagaimana umumnya prinsip para pendaki; “Jangan Meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu”

img

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner